Memahami Kekayaan Hikmah: Surat At-Taubah Ayat 55

Ilustrasi Simbolik Keimanan dan Harta Iman Harta
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَمُوتَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
"Maka janganlah hartamu dan anak-anakmu membuatmu kagum. Sesungguhnya Allah hendak mengadzab mereka dengan harta itu di dunia, dan hendak mencabut nyawa mereka dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah: 55)

Konteks Turunnya Ayat

Surat At-Taubah, khususnya ayat 55, memiliki latar belakang sejarah yang sangat penting, yaitu pada masa-masa akhir peperangan dan konsolidasi umat Islam di Madinah, khususnya berkaitan dengan kaum munafik. Ayat ini turun sebagai peringatan tegas dari Allah SWT mengenai pandangan seorang mukmin terhadap kekayaan duniawi dan keturunan. Ayat ini secara spesifik ditujukan untuk menyindir dan memberikan peringatan kepada mereka yang secara lahiriah menampakkan keislaman namun hati mereka dipenuhi kemunafikan.

Ayat ini muncul di tengah dinamika sosial di mana sebagian dari kaum munafik (yang seringkali masih memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi) mencoba menarik perhatian Nabi Muhammad SAW dengan kekayaan dan banyaknya anak mereka, seolah-olah hal itu adalah tanda keberuntungan atau validasi atas posisi mereka. Tujuan mereka adalah agar Nabi memberikan kelonggaran atau simpati terhadap mereka.

Penjelasan Filosofis: Jebakan Duniawi

Pesan utama dari Surat At-Taubah ayat 55 adalah larangan keras bagi seorang mukmin untuk terpesona atau terperdaya oleh kemewahan duniawi, baik itu dalam bentuk harta benda maupun jumlah anak. Frasa "janganlah hartamu dan anak-anakmu membuatmu kagum" adalah teguran agar orientasi seorang Muslim tetap tertuju pada keridaan Allah, bukan pada standar kesuksesan duniawi yang sering dijadikan tolok ukur oleh masyarakat umum.

Mengapa harta dan anak bisa menjadi ujian? Bagi kaum munafik, harta dan anak justru menjadi sarana untuk menunda kebenaran dan memperkuat kemunafikan mereka. Mereka menganggap kesenangan dunia ini adalah kebahagiaan abadi. Allah SWT kemudian menjelaskan ironi di balik kemewahan tersebut. Bagi mereka yang berpaling dari kebenaran, kekayaan dan keturunan yang tampak mengagumkan itu bukanlah nikmat, melainkan mekanisme adzab yang halus.

Adzab yang Terselubung

Ayat ini memaparkan dua bentuk adzab yang akan mereka terima. Pertama, Allah hendak mengadzab mereka dengan harta tersebut di dunia. Ini bukan berarti setiap orang kaya pasti diazab, melainkan bagi mereka yang menjadikannya tameng dari keimanan. Harta yang seharusnya menjadi sarana ibadah malah menjadi alat kesombongan, pemborosan, atau sarana untuk melawan Islam. Harta itu kemudian bisa membawa fitnah, ketakutan akan kehilangan, atau menjadi beban pertanggungjawaban yang berat di akhirat.

Kedua, dan yang lebih berat, adalah kematian dalam keadaan kafir. Inilah puncak kerugian. Betapa pun banyak harta yang dimiliki atau betapa pun banyaknya keturunan yang ditinggalkan, jika akhir hayat menjemput dalam keadaan kufur (ingkar/menolak kebenaran), semua itu menjadi sia-sia. Kematian bagi mereka adalah gerbang menuju penderitaan abadi.

Pelajaran Bagi Umat Kontemporer

Relevansi ayat ini sangat terasa hingga kini. Dalam era materialisme, godaan untuk mengukur keberhasilan hidup berdasarkan aset properti, saldo bank, atau popularitas di media sosial sangatlah tinggi. At-Taubah ayat 55 mengingatkan kita bahwa standar sukses dalam Islam berbeda. Harta dan anak adalah amanah, sarana untuk beribadah dan berbakti, bukan tujuan akhir yang harus dikagumi.

Seorang Muslim harus selalu waspada agar cinta kepada harta (hubb al-dunya) tidak mengalahkan cinta kepada Allah SWT. Ketika kecintaan pada dunia mendominasi, akal sehat cenderung menolak kebenaran yang datang dari wahyu, karena kebenaran tersebut seringkali menuntut pengorbanan materiil atau perubahan gaya hidup yang nyaman. Dengan demikian, harta yang seharusnya menjadi penolong malah menjadi penghalang terbesar menuju kebahagiaan sejati di sisi Allah. Fokus utama kita harus selalu pada kualitas iman dan amal, bukan kuantitas kepemilikan duniawi.