Setiap orang menyimpan serpihan kenangan yang membentuk siapa mereka hari ini. Bagi saya, serpihan-serpihan itu berkilauan paling terang ketika saya mengingat masa kecil. Itu adalah era di mana dunia terasa luas, penuh misteri, dan satu-satunya kekhawatiran terbesar adalah apakah matahari akan terbenam sebelum permainan kelereng selesai.
Rumah dan Aroma Khas
Saya tumbuh di sebuah rumah sederhana dengan halaman belakang yang selalu hijau. Aroma tanah basah setelah hujan sore adalah aroma paling menenangkan di dunia. Pagi hari selalu dimulai dengan suara riuh burung gereja dan samar-samar suara ibu menyiapkan sarapan. Masa kecil saya didefinisikan oleh kebebasan untuk menjelajah. Tanpa gawai, tanpa jadwal ketat, hari-hari diisi dengan eksplorasi kecil yang terasa monumental saat itu. Kami, anak-anak di lingkungan itu, adalah penjelajah sejati, menganggap selokan kecil sebagai sungai deras dan semak belukar sebagai hutan belantara yang belum terjamah.
Ilustrasi mimpi masa kecil yang sederhana.
Petualangan di Sekolah Dasar
Sekolah dasar adalah panggung drama pertama saya. Bukan tentang nilai sempurna, melainkan tentang persahabatan yang dibentuk di bangku kayu yang keras. Kami berbagi bekal makan siang, saling menyontek pekerjaan rumah—yang kemudian kami sesali—dan merencanakan aksi kenakalan kecil yang selalu gagal. Salah satu babak paling berkesan dalam autobiografi masa kecil saya adalah saat lomba lari antarkelas. Saya tidak pernah menang, namun semangat kebersamaan saat meneriakkan yel-yel untuk teman yang berlari jauh lebih berharga daripada medali emas.
Pada masa itu, imajinasi adalah mata uang utama. Kotak kardus bekas bisa menjadi kapal luar angkasa, meja sekolah berubah menjadi benteng pertahanan, dan batu-batu kecil yang dikumpulkan adalah harta karun. Kekuatan kolektif anak-anak untuk mengubah hal biasa menjadi luar biasa adalah sihir yang sering kita lupakan ketika dewasa. Kami hidup dalam momen, tanpa terlalu banyak memikirkan ‘besok’ atau ‘masa depan’ yang terlalu jauh.
Pelarian di Dunia Buku
Selain bermain di luar, saya adalah seorang pembaca yang rakus. Perpustakaan sekolah adalah kuil pribadi saya. Aroma kertas tua dan debu buku adalah parfum favorit. Saya tenggelam dalam kisah-kisah petualangan, membaca ulang buku yang sama sampai sampulnya lepas dan halamannya mulai menguning. Buku-buku itu adalah guru pertama saya yang sabar, mengajarkan empati, kosakata, dan memperkenalkan saya pada ide-ide kompleks jauh sebelum saya siap secara akademis.
Membaca membantu saya memahami dunia di luar pagar rumah, memberikan perspektif bahwa ada jutaan cara untuk hidup dan jutaan cerita untuk diceritakan. Hal ini menanamkan benih keinginan untuk menulis dan merekam pengalaman, yang pada akhirnya membawa saya kembali ke keinginan untuk mendokumentasikan masa kecil ini dalam bentuk autobiografi.
Transisi Menuju Kedewasaan
Tentu saja, masa kecil tidak selamanya tanpa bayangan. Ada momen kegagalan, rasa malu karena tidak terpilih dalam tim olahraga, atau kesedihan karena harus mengucapkan selamat tinggal kepada teman yang pindah. Namun, kenangan indah selalu lebih dominan. Kenangan itu mengajarkan ketangguhan dalam skala kecil. Kesalahan hari ini akan dilupakan besok karena ada petualangan baru yang menunggu di sudut jalan.
Melihat kembali hari-hari itu, saya menyadari betapa berharganya kesederhanaan tersebut. Tidak ada tuntutan kompleksitas hidup modern; hanya ada waktu yang berlimpah dan rasa ingin tahu yang tak terbatas. Masa kecil adalah fondasi, cetak biru emosional kita. Meskipun kini saya berdiri jauh dari ayunan kayu dan permainan petak umpet, semangat eksplorasi dan kejernihan hati dari masa kecil itu terus menjadi kompas dalam perjalanan hidup saya.
Mengenang masa kecil adalah seperti membuka kotak harta karun yang aman dan hangat. Ini mengingatkan saya bahwa di balik semua kesibukan dan tanggung jawab dewasa, inti dari diri saya masihlah anak kecil yang berlari kencang mengejar matahari terbenam, penuh harapan dan tanpa beban.