Masa di mana buku dan mimpi bertemu.
Memasuki gerbang Sekolah Menengah Atas adalah titik balik yang terasa monumental. Setelah melewati masa SMP yang terasa seperti pemanasan, SMA adalah arena sesungguhnya. Saya ingat betul hari pertama, mengenakan seragam baru yang terasa sedikit kaku, bercampur dengan gugup dan rasa ingin tahu yang meluap-luap. Tiga tahun ke depan menjanjikan tantangan akademis yang lebih berat, lingkungan pertemanan yang lebih luas, dan — yang paling penting — pencarian identitas diri yang lebih intens. Masa SMA adalah periode transisi, di mana kita secara perlahan melepaskan diri dari bayang-bayang masa kanak-kanak menuju kedewasaan.
Pemilihan jurusan, meskipun terasa terlalu dini bagi remaja, membentuk jalur pertama dalam autobiografi karier masa depan. Memilih IPA, misalnya, membawa serta beban rumus-rumus fisika yang rumit dan praktikum kimia yang kadang berakhir dengan bau menyengat. Namun, di balik tantangan itu, ada kepuasan luar biasa ketika sebuah eksperimen berhasil, atau ketika akhirnya saya memahami konsep relativitas yang sempat terasa mustahil. Di sinilah fondasi disiplin ilmu mulai diletakkan, sering kali di bawah tekanan tenggat waktu tugas kelompok.
Jika pelajaran adalah tulang punggung masa SMA, maka persahabatan adalah darah yang mengalirinya. Kami membentuk kelompok-kelompok kecil yang kemudian menjadi semesta kami sendiri. Ada sahabat yang tahu detail kebodohan saya saat ujian mendadak, ada pula teman sebangku yang menjadi "kamus berjalan" saat guru menerangkan materi yang sulit dipahami. Momen-momen seperti berbagi bekal makan siang di kantin, diskusi sengit tentang film terbaru, hingga momen patah hati pertama yang ditenangkan bersama, semuanya terukir jelas. Koridor sekolah bukan hanya tempat untuk berpindah kelas; itu adalah panggung drama sosial yang tak pernah sepi.
Autobiografi masa SMA tidak akan lengkap tanpa membahas kegiatan ekstrakurikuler. Saya memilih bergabung dengan Klub Jurnalistik. Ini adalah keputusan yang membawa saya jauh dari zona nyaman. Saya belajar mengambil sudut pandang, mewawancarai tokoh-tokoh sekolah, dan berdebat sengit mengenai tata letak majalah dinding. Dari sanalah saya menemukan hasrat untuk menulis dan mengorganisir informasi. Kepanitiaan acara besar sekolah, dari Pensi hingga bakti sosial, mengajarkan manajemen waktu yang sebenarnya—bagaimana menyeimbangkan antara nilai ulangan harian dan tanggung jawab kepanitiaan yang jatuh tempo bersamaan.
Ada pula momen-momen kebebasan yang terbatas. Sore hari sepulang sekolah, terkadang kami berkumpul di warung kopi terdekat, bukan untuk minum kopi sungguhan, melainkan untuk bertukar cerita dan merencanakan strategi menghadapi Ujian Akhir Nasional. Ketegangan menjelang kelulusan terasa begitu nyata, mengubah tawa riang menjadi diskusi serius tentang masa depan. Rasa takut gagal terasa membebani, tetapi dorongan dari guru dan teman-teman selalu berhasil mengangkat semangat kami kembali.
Tiga tahun terasa berlalu sangat cepat. Hari perpisahan adalah klimaks emosional. Melihat wajah teman-teman yang selama ini menemani suka dan duka, kini tersebar dalam rencana yang berbeda-beda, sungguh mengharukan. Autobiografi masa SMA ini mengajarkan saya tentang ketekunan, pentingnya jejaring sosial yang kuat, dan bahwa kegagalan dalam tugas kelompok adalah bagian tak terpisahkan dari proses belajar. Pengalaman di bangku SMA bukan sekadar pengumpulan nilai; itu adalah pembentukan karakter, di mana kami belajar menjadi versi diri kami yang lebih siap menghadapi dunia yang lebih besar di depan. Meskipun babak ini telah selesai, jejak langkah dan pelajaran yang didapat akan selalu menjadi bab favorit dalam buku kehidupan saya.