Ilustrasi: Keseimbangan dan perbedaan pandangan dalam masyarakat.
Konteks dan Kedudukan At-Taubah Ayat 58
Surah At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara’ah, merupakan surah Madaniyah yang diturunkan setelah penaklukan Makkah, membawa banyak sekali pelajaran penting mengenai muamalah (hubungan sosial), jihad, dan batasan-batasan dalam interaksi dengan pihak-pihak yang berbeda keyakinan. Di tengah-tengah pembahasan mengenai tantangan dan dinamika sosial masyarakat Islam pada masa itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya dalam ayat 58.
"Dan di antara mereka ada orang-orang yang mencela kamu (Muhammad) mengenai (pembagian) sedekah-sedekah itu. Jika mereka diberi bagian daripadanya, mereka rela; dan jika tidak diberi bagian dari padanya, tiba-tiba mereka menjadi murka." (QS. At-Taubah: 58)
Ayat ini secara spesifik menyoroti sebuah fenomena sosial yang seringkali muncul dalam komunitas, yaitu perilaku orang-orang yang motif ibadah atau pengabdiannya—dalam konteks ini adalah pembagian sedekah (ghanimah atau harta rampasan perang, atau sedekah secara umum)—bergantung pada keuntungan pribadi yang mereka dapatkan. Ayat ini adalah kritik tajam terhadap kemunafikan terselubung.
Analisis Karakteristik "Pencela"
Penyebutan "mencela kamu (Muhammad)" menunjukkan adanya upaya untuk merusak citra kepemimpinan Rasulullah SAW dalam distribusi sumber daya umat. Kelompok yang dimaksud dalam ayat ini menunjukkan dua ciri utama yang sangat kontras:
- Rida saat Mendapatkan Bagian: Ketika distribusi sedekah atau bantuan materi jatuh sesuai keinginan dan harapan mereka, mereka merasa puas, diam, dan bahkan mungkin menampakkan dukungan lahiriah.
- Murka saat Tidak Mendapatkan Bagian: Sebaliknya, ketika porsi yang diharapkan tidak terpenuhi, mereka langsung menunjukkan ketidakpuasan, kekecewaan, bahkan berubah menjadi pencela yang terang-terangan terhadap kebijakan pembagian yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Sikap ini sangat kontras dengan prinsip keikhlasan dalam beragama. Keikhlasan menuntut bahwa ketaatan dan kerelaan seorang Muslim seharusnya tidak bersyarat pada keuntungan duniawi. Ayat ini menegaskan bahwa standar iman sejati bukanlah seberapa besar imbalan materi yang diterima, melainkan ketundukan penuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, terlepas dari untung atau rugi secara finansial.
Relevansi dalam Konteks Umat Masa Kini
Meskipun ayat ini turun dalam konteks pembagian harta rampasan perang di masa Nabi, pelajarannya sangat universal dan relevan hingga hari ini. Fenomena "mencela berdasarkan untung rugi" ini dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan keagamaan:
Pertama, dalam ranah organisasi atau komunitas. Ada individu yang kinerjanya tinggi saat mendapatkan posisi penting atau apresiasi material, namun semangatnya langsung jatuh ketika merasa diremehkan atau tidak mendapatkan ‘bagian’ yang dijanjikan (baik itu promosi, pengakuan, atau fasilitas). Ini menunjukkan keterikatan hati yang kuat pada dunia.
Kedua, dalam hal ibadah. Ketika sedekah atau pengorbanan yang dilakukan tidak segera dibalas dengan kemudahan duniawi (misalnya, sakit tak kunjung sembuh meskipun sudah bersedekah), sebagian orang mulai mempertanyakan keadilan atau bahkan keikhlasan mereka sendiri.
Ayat 58 Surah At-Taubah menjadi pengingat keras bahwa kemanisan iman sejati baru terasa ketika seseorang benar-benar menerima ketentuan Allah tanpa pamrih. Kematangan spiritual diukur dari konsistensi sikap, bukan dari fluktuasi keuntungan yang dirasakan.
Implikasi Psikologis dan Spiritual
Perilaku yang dicela oleh ayat ini memiliki dampak psikologis yang merugikan. Orang yang motifnya selalu didasari keuntungan pribadi akan hidup dalam kegelisahan konstan. Mereka tidak akan pernah merasa cukup, karena kebahagiaan mereka selalu bergantung pada variabel eksternal (apa yang diberikan kepada mereka), bukan pada keadaan batin yang stabil karena dekat dengan Ilahi.
Sebaliknya, orang yang berusaha meneladani idealisme Islam akan menemukan ketenangan. Ketentraman datang dari kesadaran bahwa ridha Allah jauh lebih berharga daripada kepuasan sesaat dari harta dunia. Ketika seseorang beramal karena Allah semata, maka hilangnya materi atau tidak didapatnya posisi tertentu tidak akan menggoyahkan pondasi imannya.
Inti dari ajaran At-Taubah 58 adalah validasi kepemimpinan Rasulullah SAW. Dengan menyingkap aib orang-orang yang motifnya tercampur, Allah menguatkan posisi Nabi dan menunjukkan kepada kaum mukminin yang tulus siapa saja yang harus diwaspadai dalam masalah distribusi amanah. Ini adalah ujian kejujuran kolektif bagi seluruh umat.
Penutup
Memahami At-Taubah ayat 58 adalah undangan untuk introspeksi diri: sejauh mana kerelaan kita dalam beragama didasarkan pada janji surga dan ridha Ilahi, dan sejauh mana ia masih terikat pada imbalan yang terlihat di depan mata? Hanya dengan membersihkan hati dari sifat transaksional inilah seorang hamba dapat mencapai ketenangan sejati dalam mengikuti jalan kebenaran.