Surah At-Taubah, surat ke-9 dalam Al-Qur'an, mengandung banyak sekali pedoman hidup, terutama terkait interaksi sosial dan ekonomi umat Islam. Di tengah ayat-ayat yang membahas peperangan dan perjanjian, terdapat serangkaian ayat penting, yaitu 60 hingga 70, yang secara spesifik menyoroti aturan mengenai distribusi harta, khususnya zakat dan sedekah. Ayat-ayat ini menjadi landasan utama dalam sistem kesejahteraan sosial Islam, menegaskan siapa yang berhak menerima dan bagaimana pengelolaan dana tersebut harus dilakukan dengan transparan dan adil.
Prioritas Penerima Zakat (Ayat 60)
Ayat 60 dari Surah At-Taubah memberikan batasan yang jelas mengenai delapan golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat. Ini bukan sekadar daftar, melainkan sebuah cetak biru mengenai prioritas dalam membantu mereka yang membutuhkan di tengah masyarakat. Golongan tersebut meliputi fakir, miskin, amil (pengelola zakat), muallaf (yang baru memeluk Islam), riqab (memerdekakan budak), gharimin (orang yang menanggung hutang), fisabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal). Penetapan ini memastikan bahwa dana zakat yang dikumpulkan benar-benar mengalir ke kantong-kantong yang paling memerlukan dan memberikan dampak sosial yang maksimal.
Poin penting dari ayat ini adalah penegasan bahwa zakat adalah "kewajiban dari Allah." Ini menunjukkan bahwa pengelolaan dan penyaluran zakat bukanlah urusan sukarela semata, melainkan ibadah yang memiliki aturan baku yang harus ditaati. Seorang amil zakat, misalnya, berhak menerima bagian bukan karena ia berhak atas harta tersebut secara pribadi, tetapi karena ia menjalankan tugas pelayanan yang diamanahkan oleh syariat.
Keadilan dan Etika dalam Pengumpulan Zakat
Selain mengatur penerima, ayat-ayat berikutnya (61-65) juga menyinggung perilaku orang-orang munafik yang sering kali mencari celah untuk mengelak dari kewajiban atau meragukan keikhlasan dakwah Rasulullah SAW. Hal ini mengajarkan umat Islam di masa kini tentang pentingnya menjaga integritas dan kejujuran dalam menjalankan rukun Islam ketiga ini. Ketika kewajiban berzakat diiringi dengan keraguan atau niat buruk, maka keberkahan dari harta tersebut bisa hilang.
Ayat 62 menjelaskan bahwa orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang taat sepenuhnya, bukan mereka yang hanya tunduk ketika ada keuntungan duniawi atau ketika Rasulullah SAW sedang berada di tengah mereka. Kepatuhan terhadap aturan distribusi harta ini adalah ujian keimanan yang sesungguhnya.
Pentingnya Infaq di Jalan Allah (Fisabilillah)
Bagian dari ayat 60 hingga 70 juga secara tegas membedakan antara zakat wajib dan infaq sunnah. Meskipun zakat memiliki sasaran yang ketat, konsep "fisabilillah" (di jalan Allah) dalam konteks zakat tetap menjadi fokus. Namun, di luar zakat, Al-Qur'an selalu mendorong umat untuk berinfak tanpa perhitungan demi kemaslahatan umum, terutama dalam konteks membela agama dan memperkuat komunitas.
Ayat 67 hingga 69 secara keras mengecam kemunafikan mereka yang enggan berinfak dan gemar menipu. Allah SWT mengingatkan bahwa harta yang disembunyikan atau didapatkan melalui cara yang tidak jujur akan menjadi penyesalan di akhirat. Kontras antara sifat dermawan orang beriman dan sifat kikir orang munafik disajikan secara gamblang.
Jaminan Balasan Allah SWT (Ayat 68-69)
Sebagai penutup bagian ini, Allah memberikan janji kepastian balasan bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan, baik dalam menjalankan perintah ibadah maupun dalam berinteraksi secara sosial. Ayat 68 dan 69 adalah peringatan keras bagi orang-orang yang menipu dan menyembunyikan kebohongan mereka dari Rasulullah SAW. Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, baik itu niat buruk dalam mengelola dana sosial maupun janji palsu dalam hubungan interpersonal.
Kontras yang disajikan antara orang mukmin yang tulus (yang disebutkan di ayat 62) dan orang munafik (yang disebutkan di ayat 63-65) menegaskan bahwa keberkahan harta dan amal perbuatan sangat bergantung pada kemurnian niat. Ayat-ayat ini mendorong umat Islam untuk selalu memastikan bahwa setiap distribusi harta, baik yang wajib (zakat) maupun yang sukarela (infaq), dilakukan dengan ketulusan hati, sejalan dengan prinsip keadilan yang telah digariskan Allah dalam Surah At-Taubah ayat 60. Pemahaman mendalam terhadap rangkaian ayat ini berfungsi sebagai panduan moral dan etika ekonomi yang relevan sepanjang masa.