Perasaan tidak bahagia adalah sebuah pengalaman universal yang dialami oleh hampir setiap manusia di titik tertentu dalam hidup mereka. Ini bukan sekadar kesedihan sesaat karena kehilangan atau kekecewaan; seringkali, ini adalah keadaan rasa hampa, kurangnya makna, atau ketidakpuasan kronis terhadap eksistensi diri. Dalam masyarakat modern yang sering kali memuja citra kesempurnaan dan kebahagiaan abadi, mengakui bahwa kita sedang berada dalam zona ketidakbahagiaan bisa terasa seperti sebuah kegagalan pribadi. Padahal, perasaan ini adalah sinyal penting dari jiwa kita.
Mengapa sulit mendefinisikan rasa tidak bahagia? Karena penyebabnya sangat personal dan berlapis. Bagi sebagian orang, ketidakbahagiaan mungkin terkait dengan kesuksesan finansial yang tidak tercapai atau karier yang terasa mandek. Bagi yang lain, akarnya terletak pada hubungan interpersonal yang disfungsional, kesehatan mental yang terganggu, atau krisis eksistensial mengenai tujuan hidup. Ilmu psikologi modern membagi konsep ini menjadi dua komponen utama: afek negatif (emosi sedih, cemas, marah) dan penilaian kognitif rendah terhadap kualitas hidup secara keseluruhan.
Ketika kita merasa tidak bahagia secara mendalam, seringkali kita mengabaikan isyarat-isyarat kecil yang diberikan tubuh dan pikiran. Kita mungkin mencoba mengalihkannya dengan konsumsi berlebihan, kesibukan tanpa henti, atau pencarian validasi eksternal. Namun, upaya ini hanya seperti menambal lubang besar dengan selotip kecil; masalah dasarnya tetap ada dan menggerogoti fondasi kesejahteraan.
Salah satu kontributor terbesar ketidakbahagiaan di era digital adalah fenomena perbandingan sosial. Media sosial secara konstan menyajikan kurasi dari momen-momen terbaik orang lain—liburan mewah, pencapaian profesional dramatis, atau hubungan yang tampak sempurna. Ketika kita membandingkan realitas hidup kita yang penuh tantangan dan rutinitas dengan "sorotan" kehidupan orang lain, kesenjangan persepsi ini secara otomatis memicu rasa tidak cukup dan memicu perasaan tidak bahagia.
Selain itu, ekspektasi yang tidak realistis, baik yang ditanamkan oleh keluarga, budaya, maupun diri sendiri, menjadi jebakan. Kita mungkin memiliki target bahwa pada usia tertentu kita harus sudah memiliki rumah, posisi jabatan tertentu, atau pasangan ideal. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan peta mental tersebut, kecewa muncul dan menetap menjadi rasa puas yang rendah terhadap hidup.
Banyak filsuf dan psikolog logoterapi (seperti Viktor Frankl) menekankan bahwa kebahagiaan sejati sulit dicapai jika hanya dikejar secara langsung. Kebahagiaan sering kali merupakan produk sampingan dari kehidupan yang bermakna. Jika Anda merasa tidak bahagia meskipun secara materi berkecukupan, mungkin Anda sedang menghadapi krisis makna.
Mengatasi rasa ini memerlukan introspeksi mendalam. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Apakah kegiatan yang saya lakukan selaras dengan nilai-nilai inti saya? Apakah saya memberikan kontribusi yang berarti, sekecil apa pun, kepada lingkungan sekitar saya? Menemukan tujuan yang melampaui kepentingan diri sendiri—baik itu melalui pekerjaan sukarela, pengembangan keterampilan baru, atau merawat orang terkasih—sering kali menjadi jangkar yang menahan kita saat gelombang ketidakpuasan datang.
Mengakui bahwa kita tidak bahagia adalah langkah pertama yang berani. Setelah pengakuan itu, perubahan kecil bisa menghasilkan perbedaan besar. Ini mungkin berarti menetapkan batasan digital yang lebih ketat, memprioritaskan tidur dan nutrisi yang baik (karena kesehatan fisik sangat terkait dengan mental), atau yang paling penting, mencari dukungan profesional.
Terapis dapat membantu Anda memetakan pola pikir negatif, mengidentifikasi trauma masa lalu yang mungkin masih menghambat, dan mengembangkan strategi koping yang sehat. Ingatlah, hidup adalah perjalanan kompleks, dan periode kegelapan adalah bagian alami dari siklus tersebut. Namun, kita memiliki kemampuan untuk mengubah arah kompas batin kita, beralih dari sekadar bertahan hidup menjadi benar-benar hidup dan menemukan kedamaian di tengah ketidaksempurnaan.