Konsep kebahagiaan sering digambarkan sebagai tujuan akhir yang pasti, sebuah garis finis yang jika dicapai, akan memberikan kedamaian abadi. Namun, bagi sebagian orang, garis finis itu seolah terus bergerak menjauh. Fenomena merasa tidak pernah bahagia, meskipun secara eksternal mungkin telah mencapai banyak hal—karier sukses, hubungan baik, atau stabilitas finansial—adalah sebuah paradoks modern yang kompleks dan melelahkan.
Perasaan kronis bahwa kebahagiaan sejati selalu berada di luar jangkauan bukanlah sekadar kesedihan sesaat. Ini sering kali merupakan pola pikir yang mengakar, sebuah lensa di mana setiap pencapaian selalu dibayangi oleh kebutuhan akan "sesuatu yang lebih" atau ketakutan bahwa kebahagiaan saat ini hanyalah ilusi sementara.
Salah satu jebakan terbesar dalam siklus ini adalah ketergantungan pada standar eksternal untuk mendefinisikan nilai diri dan kebahagiaan. Masyarakat, media sosial, dan budaya populer secara konstan mempromosikan narasi bahwa kebahagiaan datang dalam paket tertentu: rumah besar, liburan mewah, atau tubuh ideal. Ketika kita mengejar paket-paket ini, kita sering lupa bahwa kebahagiaan sejati bersifat internal dan berkelanjutan.
Ketika tujuan tercapai, alih-alih merasakan kepuasan mendalam, pikiran cepat beralih ke validasi berikutnya. Ini menciptakan 'hedonic treadmill'—semakin kita berlari mengejar kesenangan yang kita anggap sebagai kebahagiaan, semakin cepat kita harus berlari untuk mempertahankannya. Akibatnya, kita berakhir kelelahan dan tetap merasa kosong.
Ironisnya, orang yang merasa tidak pernah bahagia sering kali adalah mereka yang paling menuntut kesempurnaan dari diri sendiri dan lingkungannya. Mereka menetapkan standar yang tidak realistis, sehingga setiap kesalahan kecil atau kegagalan dipandang sebagai bukti bahwa mereka gagal total dalam mencapai status bahagia.
Hidup secara inheren mengandung rasa sakit, kekecewaan, dan ketidaknyamanan. Kebahagiaan bukanlah keadaan tanpa masalah; itu adalah kemampuan untuk menerima ketidaknyamanan tersebut sambil tetap menemukan apresiasi dalam momen-momen kecil. Ketika kita menolak bagian gelap dari pengalaman manusia, kita menolak realitas itu sendiri, dan dengan demikian, menolak kesempatan untuk merasa cukup baik dalam kondisi apa pun.
Pola pikir negatif memiliki kecenderungan untuk memfilter realitas. Otak kita mungkin secara otomatis mengabaikan sepuluh hal baik yang terjadi hari itu dan hanya fokus pada satu kritik kecil atau satu kekhawatiran yang belum terselesaikan. Proses ini memperkuat keyakinan bahwa hidup ini pada dasarnya tidak menyenangkan.
Mengubah fokus ini membutuhkan latihan kesadaran (mindfulness). Ini bukan tentang menipu diri sendiri bahwa semuanya sempurna, tetapi tentang melatih mata batin untuk melihat keberlimpahan yang sudah ada. Apakah itu secangkir kopi hangat, percakapan singkat yang berarti, atau sekadar kemampuan bernapas dengan lega. Momen-momen kecil ini adalah batu bata kebahagiaan, tetapi jika kita selalu menunggunya menjadi sebuah istana megah, kita akan selalu merasa bahwa kita sedang membangun tanpa henti.
Penelitian psikologi secara konsisten menunjukkan bahwa kualitas hubungan interpersonal adalah prediktor terkuat dari kesejahteraan jangka panjang. Jika seseorang merasa tidak pernah bahagia, seringkali ada elemen isolasi atau koneksi yang dangkal. Ketika kita tidak memiliki ruang aman untuk mengungkapkan kerapuhan kita—ketakutan bahwa kita tidak cukup—kita membangun tembok yang juga menghalangi masuknya kebahagiaan sejati yang didapat dari keterhubungan.
Mengatasi perasaan ini memerlukan keberanian untuk menjadi rentan, baik kepada diri sendiri maupun orang terdekat. Mengakui bahwa kita sedang berjuang bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah pertama menuju penerimaan diri yang lebih besar.
Pada akhirnya, keluar dari lingkaran merasa 'tidak pernah bahagia' bukanlah tentang menemukan resep rahasia kebahagiaan. Ini adalah tentang membuang resep lama yang salah. Ini tentang membiarkan diri menjadi manusia seutuhnya—dengan segala kesempurnaan dan ketidaksempurnaan—dan menemukan rasa syukur dalam proses perjalanan itu sendiri, bukan hanya di garis akhir yang mungkin tidak pernah ada.