Surah At-Taubah, yang berarti "Pengampunan" atau "Tobat", menempati posisi unik dalam mushaf Al-Qur'an. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan bacaan "Bismillahir-Rahmanirrahim" (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Keunikan ini telah memicu banyak diskusi di antara para ulama, dan sebagian besar menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh tema utama surah yang sangat serius dan berkaitan langsung dengan pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin setelah penaklukan Mekah.
At-Taubah diturunkan pada periode akhir dakwah Rasulullah ﷺ, khususnya terkait dengan peristiwa Perang Tabuk dan pembatalan perjanjian damai yang telah ada. Surah ini berfungsi sebagai deklarasi yang tegas dari otoritas Islam, menetapkan batas-batas yang jelas antara komunitas Muslim dan mereka yang terus menerus mengkhianati janji atau menunjukkan permusuhan terbuka.
Tema sentral dalam Surah ke-9 ini adalah panggilan untuk pertobatan yang tulus (tawbah), namun juga mengandung peringatan keras. Ayat-ayat awal (ayat 1 sampai 4) secara eksplisit menyatakan pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian tanpa batas waktu. Peringatan ini memberikan jangka waktu empat bulan bagi mereka untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka, sambil menegaskan bahwa kaum Muslim harus berpegang teguh pada prinsip keadilan dan kejujuran dalam interaksi mereka.
Surah At-Taubah menuntut kemurnian tauhid dalam barisan umat Islam. Salah satu fokus utama surah ini adalah mengkritik keras kaum munafik—mereka yang secara lisan mengaku beriman tetapi tindakannya menunjukkan pengkhianatan dan keraguan. Ayat-ayat seperti ayat 101 dan 107 menggambarkan bahaya kemunafikan yang lebih merusak daripada permusuhan terbuka dari luar. Hal ini menunjukkan bahwa integritas internal komunitas jauh lebih penting daripada sekadar jumlah atau kekuatan lahiriah.
Surah ini juga menekankan pentingnya jihad fid-sabilillah (berjuang di jalan Allah), namun selalu dalam kerangka keadilan dan strategi yang matang. Salah satu momen bersejarah yang terkait erat adalah kisah Perang Tabuk, di mana banyak sahabat berjuang keras, sementara yang lain memilih untuk tinggal karena kemalasan atau keraguan. Kisah tiga sahabat yang tertinggal (Ka'b bin Malik dan dua lainnya) kemudian diampuni setelah mereka benar-benar bertaubat, memberikan pelajaran mendalam tentang konsekuensi ketidaktaatan dan keindahan pengampunan ilahi setelah kejujuran dalam pengakuan dosa.
Meskipun mengandung nada yang tegas mengenai peperangan dan perjanjian, inti spiritual dari Surah At-Taubah adalah harapan akan pengampunan. Kata "At-Taubah" sendiri merujuk pada pertobatan. Allah SWT berfirman dalam ayat 118: "Dan kepada tiga golongan yang tiga orang yang ditinggalkan (tidak turut berperang), hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka dan jiwa mereka pun terasa sempit (disebabkan kesusahan hidup), dan mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat perlindungan dari (seksa) Allah melainkan kepada-Nya, maka Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam pertobatannya..."
Ayat ini menjadi mercusuar harapan, mengajarkan bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, asalkan pertobatan itu jujur, total, dan disertai dengan penyesalan mendalam serta tekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pertobatan yang sejati selalu membutuhkan perubahan perilaku nyata dan tanggung jawab moral.
Mengapa Basmalah dihilangkan? Mayoritas ulama berpendapat bahwa Basmalah adalah penanda kasih sayang dan rahmat Allah. Karena Surah At-Taubah dimulai dengan pemutusan hubungan dan ancaman (meskipun diikuti dengan pengampunan), para ulama merasa bahwa memulai dengan "Rahmat" akan bertentangan dengan konteks awal surah yang bersifat peringatan keras. Alasan lain menyebutkan bahwa karena surah ini merupakan kelanjutan dari Surah Al-Anfal (yang membicarakan tentang perjanjian perang), maka tidak perlu ada pemisah formal.
Secara keseluruhan, Surah At-Taubah adalah sebuah manual etika politik dan spiritual bagi umat Islam. Ia mengajarkan ketegasan dalam prinsip keimanan, pentingnya menjaga perjanjian, bahaya kemunafikan, dan yang paling penting, pintu rahmat Allah selalu terbuka lebar bagi siapa pun yang benar-benar kembali dan bertaubat kepada-Nya dengan segenap hati. Ini adalah pengingat abadi bahwa kekuatan sejati terletak pada kebersihan hati dan keteguhan iman kepada Yang Maha Esa.
— Selesai —