Surat At-Taubah (Surat ke-9) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Al-Qur'an karena merupakan surat Madaniyah terakhir yang diturunkan, seringkali membahas tentang pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian damai. Ayat keempat dari surat ini menjadi landasan utama mengenai bagaimana umat Islam seharusnya bersikap terhadap perjanjian yang sudah ada.
Ayat ini secara spesifik menyoroti pengecualian terhadap aturan umum pemutusan perjanjian. Berikut adalah bunyi ayat tersebut:
Ayat ini diturunkan setelah kaum Muslimin mendapatkan serangkaian pengkhianatan dari beberapa kaum musyrikin di Jazirah Arab, yang melanggar Piagam Hudaybiyyah atau perjanjian-perjanjian lain yang telah disepakati sebelumnya. Sebagai respons atas pengkhianatan tersebut, Allah memerintahkan untuk menyatakan pembatalan perjanjian secara umum kepada mereka yang mengkhianati.
Namun, Surat At-Taubah Ayat 4 memberikan pengecualian yang sangat tegas dan berdasarkan prinsip keadilan Ilahiah. Ayat ini mengajarkan bahwa dasar hubungan antarmanusia, bahkan dengan pihak yang secara ideologis berbeda (musyrikin), harus didasarkan pada komitmen dan integritas. Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam wajib menghormati perjanjian selama pihak lain juga memenuhinya. Syaratnya adalah: (1) Musyrikin tersebut tidak mengurangi isi perjanjian (tidak melanggar sedikit pun), dan (2) Mereka tidak membantu pihak mana pun untuk menyerang atau merugikan umat Islam.
Penekanan utama dari Surat ke-9 ayat 4 adalah perintah tegas: "maka penuhilah janji itu sampai batas waktunya." Ini bukan sekadar etika politik atau sosial, melainkan sebuah perintah ketuhanan. Allah SWT secara eksplisit menyatakan bahwa Dia menyukai orang-orang yang bertakwa (*al-muttaqin*). Ketaqwaan di sini dihubungkan langsung dengan kemampuan seseorang untuk menepati janji, bahkan janji yang dibuat dengan pihak yang secara historis bermusuhan.
Dalam Islam, menepati janji (*wa’d*) adalah fondasi akhlak mulia. Ketika perjanjian ditepati, hal ini menciptakan stabilitas, kepercayaan, dan menunjukkan integritas moral dari komunitas yang menepatinya. Ini adalah manifestasi nyata dari sifat *al-Shiddiq* (pembenar) dan *al-Amin* (terpercaya) yang seharusnya melekat pada seorang Muslim. Jika umat Islam mudah melanggar janjinya, maka kredibilitas mereka di mata dunia akan runtuh, meskipun niat mereka untuk membela diri baik adanya.
Prinsip yang terkandung dalam At-Taubah ayat 4 tetap relevan hingga kini. Dalam hubungan internasional, bisnis, maupun interaksi sosial, ayat ini mengajarkan pentingnya konsistensi. Selama sebuah kontrak atau kesepakatan tidak mengandung unsur kemaksiatan atau pelanggaran syariat yang jelas, dan selama pihak lain memenuhinya, maka Muslim wajib memegang teguh kesepakatan tersebut hingga akhir masa berlakunya. Ayat ini memisahkan antara pertimbangan ideologis dengan kewajiban kontraktual yang telah disepakati.
Keputusan untuk menepati janji meskipun kondisi politik berubah adalah bentuk ketakwaan tertinggi, karena hal tersebut menunjukkan kontrol diri (menahan diri dari pembalasan cepat) dan ketaatan mutlak kepada hukum Allah, bukan sekadar mengikuti gejolak emosi atau kepentingan sesaat. Ayat ini mengukuhkan bahwa keadilan dan janji lebih utama daripada dendam atau pragmatisme sempit.
Dengan demikian, Surat At-Taubah ayat 4 berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa integritas moral dan kepatuhan terhadap janji yang sah adalah ciri utama orang yang bertakwa di hadapan Allah SWT.