"Apabila sudah habis bulan-bulan suci itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana pun kamu menjumpai mereka, dan tangkaplah mereka, dan kepunglah mereka, serta intailah mereka di tempat-tempat penyerbuan. Kemudian apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, biarkanlah mereka berjalan (merdeka). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. At-Taubah: 5)
Surat At-Taubah (Surat ke-9) adalah salah satu surat Madaniyah yang diturunkan setelah Hijrah Nabi Muhammad SAW. Ayat kelima ini memiliki konteks historis yang sangat spesifik dan krusial dalam sejarah Islam, terkait dengan perjanjian damai yang pernah dibuat antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Mekah, khususnya suku-suku tertentu.
Ayat ini secara eksplisit membahas berakhirnya masa tenggang (disebut juga *Al-Asyhurul Hurum* atau bulan-bulan suci yang dihormati) yang diberikan kepada kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian damai sebelumnya. Setelah masa tenggang tersebut berakhir, umat Islam diberikan izin untuk mengambil tindakan tegas terhadap mereka. Tujuannya adalah untuk membersihkan Jazirah Arab dari praktik kesyirikan yang terus menerus mengancam eksistensi negara Islam yang baru berdiri di Madinah.
Penting untuk dipahami bahwa perintah ini tidak berlaku umum atau bersifat permisif untuk melakukan kekerasan tanpa batasan waktu dan tempat. Ia terikat pada kondisi spesifik: berakhirnya masa perjanjian dan kegagalan pihak musyrikin untuk memegang teguh kesepakatan yang telah dibuat. Ayat ini merupakan penegasan akhir dari sebuah proses diplomasi yang gagal di pihak musyrikin.
Bagian pertama ayat ini memuat perintah yang keras: "bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana pun kamu menjumpai mereka, dan tangkaplah mereka, dan kepunglah mereka, serta intailah mereka di tempat-tempat penyerbuan." Perintah ini menunjukkan tingkat ketegasan yang mutlak diperlukan untuk melindungi agama dan komunitas Muslim dari ancaman eksistensial yang berkelanjutan dari pihak yang secara terbuka membatalkan janji dan siap menyerang. Kata kunci seperti *khudhūhum* (tangkaplah mereka) dan *ihṣurūhum* (kepunglah mereka) menunjukkan strategi militer yang terkoordinasi.
Namun, keindahan dan keseimbangan ajaran Islam terlihat jelas pada bagian kedua ayat tersebut: "Kemudian apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, biarkanlah mereka berjalan (merdeka)." Ini menunjukkan bahwa tujuan utama Islam bukanlah pemusnahan, melainkan penegakan tauhid dan tegaknya syariat.
Syarat untuk penghentian permusuhan sangat jelas:
Ayat ke-5 Surah At-Taubah harus selalu dibaca dalam konteks keseluruhan surat tersebut, terutama ayat-ayat yang mendahului dan mengikutinya yang menekankan pentingnya perjanjian dan perlindungan bagi yang mencari perlindungan. Para ulama tafsir sepakat bahwa perintah di ayat ini mengakhiri masa perlindungan yang diberikan kepada kelompok musyrikin yang terbukti tidak dapat dipercaya.
Poin krusial adalah penutup ayat: "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Setelah serangkaian instruksi yang terdengar sangat keras, Allah SWT mengakhiri dengan menegaskan dua sifat-Nya yang paling utama. Ini berfungsi sebagai pengingat bahwa kekerasan atau ketegasan dalam konteks perang hanyalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih luhur, yaitu terciptanya kedamaian berdasarkan keadilan dan tauhid. Rahmat Ilahi jauh lebih luas daripada sanksi hukum yang dijatuhkan dalam situasi konflik.
Dalam penerapannya di masa kini, ayat ini menjadi pelajaran penting mengenai pentingnya menjaga komitmen, tetapi juga menunjukkan bahwa Islam tidak pernah menutup pintu rekonsiliasi. Ketika komitmen ditegakkan dan prinsip-prinsip dasar keadilan (yang dalam konteks ayat ini adalah shalat dan zakat) dipatuhi, maka hak untuk hidup damai harus segera diberikan. Ayat ini mengajarkan keseimbangan yang dinamis antara ketegasan dalam mempertahankan prinsip dan kasih sayang dalam menyambut pertobatan.