Surat At-Taubah (atau Bara'ah) menempati posisi unik dalam mushaf Al-Qur'an. Surat ini diturunkan setelah Fathu Makkah (Penaklukkan Mekkah) dan berisi penegasan kembali prinsip-prinsip fundamental Islam, khususnya terkait hubungan dengan kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian damai. Ayat 1 hingga 20 secara khusus menetapkan kerangka waktu dan batasan tegas bagi mereka yang masih belum sepenuhnya memeluk Islam atau yang terus menunjukkan permusuhan.
Ayat-ayat pembuka ini dimulai dengan penolakan tegas dari Allah dan Rasul-Nya terhadap perjanjian yang telah dijalin dengan kaum musyrikin. Ini bukanlah tindakan sepihak tanpa dasar, melainkan respons terhadap pengkhianatan berulang yang telah dilakukan oleh pihak Quraisy dan sekutunya. Pemutusan perjanjian ini memberikan mereka tenggat waktu empat bulan (bulan-bulan suci yang dihormati) untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka.
Ilustrasi Ketegasan Prinsip Islam
Tenggat waktu empat bulan disebutkan dalam kelanjutan ayat ini. Empat bulan adalah waktu yang cukup bagi mereka untuk berkeliling (melakukan perjalanan) di bumi, mencari perlindungan, atau memutuskan untuk bertaubat dan memeluk Islam. Setelah masa tersebut berakhir, perlindungan bagi mereka akan dicabut total.
Prinsipnya jelas: Allah mencintai orang yang bertakwa, dan ketakwaan diwujudkan melalui penepatan janji meskipun dalam situasi yang sangat tegang. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa kaum Muslimin tidak boleh menjadi pihak yang memulai pelanggaran jika pihak lain masih memegang teguh kesepakatan.
Ayat selanjutnya menjelaskan mengapa pembatalan ini terjadi, yaitu karena orang-orang musyrikin tersebut selalu melanggar janji mereka setelah perjanjian dibuat, bahkan di saat-saat yang seharusnya mereka hormati, seperti bulan-bulan suci. Mereka tidak menghormati ikatan kekerabatan maupun perjanjian.
Setelah tenggat waktu berakhir, atau jika mereka terbukti melanggar janji di tengah jalan, ayat-ayat berikutnya memberikan perintah yang tegas. Mereka diperintahkan untuk diperangi, kecuali jika mereka kembali ke jalan tauhid.
Ayat 11 menjadi penekanan kuat: Jika mereka bertaubat (mendirikan salat dan menunaikan zakat), maka biarkanlah mereka jalan. Ini adalah undangan terbuka menuju Islam. Jika mereka menolak, maka mereka harus diperangi karena telah menolak kebenaran Allah.
Ayat 13-15 menggambarkan bagaimana kaum Muslimin harus memposisikan diri ketika menghadapi musuh-musuh yang terang-terangan memusuhi dan membatalkan perjanjian. Mereka diperintahkan untuk berperang melawan kaum yang melanggar sumpah, yang memulai permusuhan, dan yang menghalang-halangi jalan Allah.
Namun, perintah ini selalu diiringi dengan syarat penerimaan taubat. Jika musuh-musuh tersebut bersedia tunduk, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, maka mereka harus dibiarkan bebas. Ini menunjukkan bahwa tujuan peperangan bukanlah pemusnahan, melainkan penegakan kedaulatan tauhid.
Ayat-ayat penutup bagian ini (hingga ayat 20) membedakan antara orang yang beriman sejati dan orang yang hanya mengaku beriman karena keuntungan duniawi. Allah menguji keimanan melalui kesulitan, khususnya dalam konteks peperangan dan pengorbanan harta benda.
Tingginya derajat orang yang beriman sejati ditunjukkan pada ayat 20. Orang-orang yang beriman, berhijrah (berpindah demi agama), dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka adalah yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka adalah para pemenang sejati.
Surat At-Taubah ayat 1 hingga 20 berfungsi sebagai landasan hukum dan moral bagi umat Islam pasca-Fathu Makkah. Ayat-ayat ini mengajarkan pentingnya integritas dalam perjanjian, konsekuensi dari pengkhianatan, dan penegasan bahwa ketaatan hanya layak diberikan kepada Allah SWT, bukan kepada mereka yang hanya mengucapkan kalimat keimanan tanpa mengamalkannya dengan pengorbanan nyata. Ini adalah babak baru yang menuntut kemurnian iman dan keberanian dalam membela prinsip kebenaran.