Surah At-Taubah (atau Surah Bara’ah) adalah salah satu surah Madaniyah yang memiliki penekanan kuat pada pemurnian barisan umat Islam, tanggung jawab sosial, dan konsekuensi dari pilihan iman di tengah konflik. Di antara ayat-ayat penting dalam surah ini, Ayat 20 menawarkan sebuah perbandingan tajam antara mereka yang benar-benar berjuang di jalan Allah dan mereka yang hanya mengandalkan klaim verbal tanpa disertai tindakan nyata.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan tiga pilar utama yang menopang kedudukan tertinggi di sisi Allah SWT. Tiga pilar ini bukan sekadar urutan kronologis historis bagi para sahabat Nabi, melainkan prinsip abadi bagi setiap mukmin yang ingin mencapai derajat mulia.
Fondasi dari segalanya adalah iman. Namun, iman yang dimaksud di sini bukanlah sekadar pengakuan lisan. Ini adalah keimanan yang telah teruji dan mampu menggerakkan pemeluknya menuju tindakan. Tanpa iman yang kokoh, hijrah dan jihad hanyalah gerakan fisik tanpa nilai spiritual yang mendalam di mata Allah.
Secara historis, hijrah merujuk pada perpindahan dari Mekkah ke Madinah untuk menyelamatkan akidah. Namun, dalam konteks modern, hijrah memiliki makna yang lebih luas. Ia mencakup meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi ketaatan kepada Allah, termasuk kebiasaan buruk, lingkungan yang koruptif, atau zona nyaman yang melenakan dari kewajiban agama. Hijrah adalah keputusan untuk mengutamakan ridha Allah di atas kenyamanan duniawi.
Ayat ini secara spesifik menekankan bahwa jihad tidak hanya terbatas pada peperangan fisik. Al-Jihad di sini didefinisikan melalui dua instrumen utama: harta benda (أموالهم) dan jiwa (أنفسهم). Berjuang dengan harta berarti berinfak, mendukung dakwah, menolong sesama, dan menggunakan sumber daya materi untuk kebaikan. Berjuang dengan jiwa berarti mengerahkan segenap kemampuan fisik, waktu, tenaga, dan kesediaan untuk menanggung kesulitan demi meninggikan kalimat Allah.
Konsekuensi dari tiga tindakan terpadu—iman, hijrah, dan jihad—adalah predikat yang sangat didambakan: a'zhamu darajatan 'indallah (paling tinggi kedudukannya di sisi Allah). Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah, penilaian didasarkan pada totalitas pengorbanan yang tulus, bukan pada besarnya pujian manusia.
Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa kelompok inilah yang sesungguhnya termasuk al-fa'izun (orang-orang yang beruntung atau memperoleh kemenangan). Kemenangan di sini bukan semata kemenangan di medan perang, melainkan kemenangan abadi berupa keridhaan Allah, surga-Nya, dan terhindar dari kerugian akhirat. Mereka telah menukarkan kenikmatan sesaat di dunia dengan kebahagiaan kekal.
Walaupun ayat ini turun dalam konteks peperangan di masa awal Islam, pelajarannya bersifat universal dan berkelanjutan. Dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim, ayat ini menjadi tolok ukur seberapa jauh ia telah mengintegrasikan imannya dalam seluruh aspek kehidupan.
Bagi generasi masa kini, jihad tidak selalu berarti mengangkat senjata, melainkan menjadi agen perubahan positif. Ketika seseorang memilih jalur pendidikan yang sulit demi menjadi bermanfaat (jihad dengan ilmu dan waktu), atau ketika ia menyisihkan sebagian penghasilannya yang halal untuk membantu mereka yang membutuhkan (jihad dengan harta), ia sedang menapaki jejak para pejuang yang disebutkan dalam ayat ini.
Intinya, Surah At-Taubah Ayat 20 adalah seruan untuk tidak puas hanya dengan label 'mukmin'. Allah menuntut pembuktian melalui pengorbanan yang terukur—baik dalam bentuk relasi dengan harta maupun kesediaan jiwa untuk berkorban demi prinsip kebenaran. Hanya dengan sinergi ketiganya, seorang hamba dapat meraih kedudukan tertinggi dan klaim kemenangan sejati di hadapan Sang Pencipta.