Surah Al-Maidah, surat kelima dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak ayat yang sarat makna dan menjadi pedoman bagi umat Muslim. Salah satu ayat yang menarik untuk direnungkan adalah ayat ke-114, yang memuat doa Nabi Isa Al-Masih. Ayat ini bukan sekadar permintaan kepada Allah, melainkan juga sebuah refleksi mendalam tentang keimanan, ketundukan, dan harapan seorang nabi pilihan di hadapan Sang Pencipta.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
"Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan ($(mā'idah$) dari langit, yang akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang sesudah kami, dan menjadi tanda dari Engkau; berilah kami rezeki dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling utama."
Ayat ini turun berkaitan dengan kisah permintaan kaum Hawariyyin (sahabat-sahabat Nabi Isa) kepada Nabi Isa Al-Masih. Mereka meminta agar Allah menurunkan hidangan dari langit sebagai bukti kebenaran kenabian Isa dan sebagai tanda yang meyakinkan hati mereka. Permintaan ini muncul dalam konteks ketika mereka telah beriman namun masih membutuhkan penguatan keyakinan yang lebih konkrit, sebuah penegasan ilahi yang tak terbantahkan.
Permohonan Nabi Isa kepada Allah ini mengandung beberapa poin penting. Pertama, ia memohon dengan penuh kerendahan hati, menyebut Allah sebagai "Rabbana" (Tuhan kami), menunjukkan kesadaran akan posisi hamba di hadapan Penciptanya. Kedua, ia meminta "mā'idah" (hidangan) dari langit. Hidangan ini bukan sekadar makanan biasa, tetapi simbol dari nikmat dan karunia Allah yang turun langsung dari sisi-Nya. Kata "mā'idah" sendiri merujuk pada hidangan yang disajikan di atas meja.
Lebih lanjut, Nabi Isa memohon agar hidangan tersebut dijadikan "hari raya" (ʿīdan) bagi mereka, baik yang hadir saat itu maupun bagi generasi setelahnya. Ini menyiratkan bahwa peristiwa penurunan hidangan tersebut akan menjadi momen bersejarah yang diingat dan dirayakan, sebagai pengingat akan kekuasaan Allah dan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Isa. Hari raya di sini bisa diartikan sebagai hari kebahagiaan, ucapan syukur, dan penguatan iman.
Permintaan ini juga mencakup harapan agar hidangan tersebut menjadi "tanda dari Engkau" (āyatan minka). Ini berarti hidangan tersebut bukan hanya untuk memuaskan rasa lapar, melainkan juga sebagai bukti nyata akan kebesaran dan kekuasaan Allah, yang mampu melakukan hal-hal yang luar biasa di luar nalar manusia. Ini adalah cara Allah untuk menunjukkan keistimewaan kepada umat yang beriman kepada utusan-Nya.
Terakhir, Nabi Isa juga memohon rezeki, dengan penegasan bahwa Allah adalah "pemberi rezeki yang paling utama" (khair al-rāziqīn). Ini menunjukkan bahwa di balik permintaan yang bersifat mukjizat, tetap ada harapan dasar seorang hamba akan kelangsungan hidup dan kebutuhan materiilnya, yang sepenuhnya bergantung pada karunia Allah. Permohonan rezeki ini menggarisbawahi aqidah tauhid, bahwa hanya Allah yang berhak memberi rezeki.
Ayat ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT dalam segala urusan, baik yang bersifat spiritual maupun material. Doa yang tulus dan penuh keyakinan memiliki kekuatan luar biasa. Kita juga belajar bahwa ujian keimanan bisa datang dalam berbagai bentuk, dan terkadang Allah mengizinkan terjadinya hal-hal luar biasa sebagai bentuk penguatan bagi hamba-Nya.
Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah mengenai pentingnya menetapkan hari-hari untuk mengingat kebesaran Allah dan bersyukur atas nikmat-Nya. Ini bisa diwujudkan dalam bentuk ibadah, refleksi, atau kegiatan positif lainnya yang menguatkan ikatan dengan Sang Pencipta. Ayat ini juga menekankan bahwa rezeki sejatinya datang dari Allah, dan kita harus senantiasa berserah diri kepada-Nya sambil berusaha.
Meskipun ayat ini secara spesifik menceritakan kisah Nabi Isa dan kaumnya, namun pesan universalnya dapat diadopsi oleh setiap Muslim. Doa memohon tanda dari Allah, memohon rezeki, dan menjadikan momen-momen tertentu sebagai pengingat akan kebesaran-Nya adalah praktik yang mulia. Surah Al-Maidah ayat 114 mengingatkan kita bahwa di tengah kerumitan hidup, selalu ada jalan bagi hamba yang beriman untuk memohon dan berharap kepada Allah, sumber segala kebaikan.