Dalam setiap liku kehidupan, kita seringkali dihadapkan pada situasi-situasi genting. Di saat-saat itulah, naluri terdalam kita mendorong untuk mencari pertolongan, sebuah sumber kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri. Al-Qur'an, sebagai petunjuk hidup, senantiasa memberikan arahan dan ketenangan. Salah satu ayat yang begitu mendalam dan menyentuh kalbu adalah Surah An-Naml ayat 62.
"Amma yujibul mudtarra idha da'aahu wa yashkufus soo'a..."
"Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan..."
Ayat ini secara lugas mengajukan pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran. Siapa gerangan yang akan menjawab panggilan seorang hamba ketika ia berada dalam keadaan terdesak, ketika segala daya dan upaya telah menemui jalan buntu? Siapa yang akan melenyapkan kesedihan dan kesulitan yang melingkupinya? Jawabannya, tentu saja, adalah Allah SWT.
Kata "mudtar" dalam ayat ini berasal dari akar kata yang menggambarkan seseorang yang terpaksa melakukan sesuatu, seseorang yang berada di bawah tekanan ekstrem, baik fisik maupun mental. Ia adalah orang yang hatinya gelisah, jiwanya merana, dan seluruh raga merasakan himpitan kesulitan. Situasi ini bisa beragam bentuknya: penderitaan penyakit yang tak kunjung sembuh, ancaman bahaya yang mengerikan, kehilangan orang yang dicintai, kegagalan yang bertubi-tubi, atau bahkan pergolakan batin akibat dosa dan kesalahan. Dalam kondisi seperti inilah, seorang mukmin yang sejati akan secara otomatis teringat kepada Sang Pencipta.
Surah An-Naml ayat 62 menegaskan sebuah prinsip fundamental dalam Islam: doa adalah senjata orang mukmin. Ketika seorang hamba benar-benar merasa tak berdaya, ia tidak akan berpaling kepada selain Allah. Doa bukan sekadar ucapan lisan, melainkan ungkapan kepasrahan jiwa, pengakuan atas kelemahan diri, dan keyakinan mutlak bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan untuk mengubah keadaan. Allah SWT berjanji akan mengabulkan doa orang yang dalam kesulitan. Ini bukan janji kosong, melainkan kepastian ilahi yang memberikan harapan dan kekuatan.
Ayat ini juga menekankan kemampuan Allah untuk menghilangkan kesusahan (yashkufus soo'a). Kesusahan dalam bahasa Arab mencakup segala bentuk keburukan, musibah, dan penderitaan. Allah tidak hanya mendengar keluhan kita, tetapi juga memiliki kemampuan tak terbatas untuk mengangkat beban tersebut, menggantinya dengan kemudahan, dan memberikan jalan keluar yang tidak terduga.
Namun, ayat ini tidak hanya berbicara tentang meminta-minta saat terdesak. Ia juga mengajak kita untuk merefleksikan sejauh mana kita senantiasa menyadari kehadiran Allah dalam setiap keadaan, bukan hanya saat kesulitan. Idealnya, seorang mukmin memelihara hubungan spiritual dengan Allah tidak hanya ketika dilanda musibah, tetapi juga di saat-saat lapang dan bahagia. Dengan begitu, ketika kesulitan datang, hati sudah terbiasa berdzikir dan memohon kepada-Nya.
Ayat ini juga memberikan pelajaran penting tentang pentingnya keikhlasan. Doa yang tulus dari hati yang terdesak, tanpa embel-embel syirik atau keraguan, memiliki potensi besar untuk dikabulkan. Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati, bahkan sebelum kita mengucapkannya.
Salah satu kisah paling terkenal yang menggambarkan keutamaan doa dalam kesulitan adalah kisah Nabi Yunus Alaihissalam. Ketika ia terlempar ke laut dan ditelan ikan paus, ia berada dalam kegelapan yang berlapis-lapis: gelapnya lautan, gelapnya perut ikan, dan gelapnya malam. Dalam kondisi terdesak itulah, Nabi Yunus memohon kepada Allah: "Tidak ada tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Anbiya' 87). Allah pun mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari kegelapan tersebut. Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang memohon dengan tulus, betapapun beratnya cobaan yang dihadapi.
Allah SWT menguji umat-Nya bukan karena Dia ingin melihat kita sengsara, melainkan untuk menguji keimanan, kesabaran, dan ketawakalan kita. Ujian adalah cara Allah untuk memurnikan hati, mengangkat derajat, dan mendekatkan diri seorang hamba kepada-Nya. Melalui ayat Surah An-Naml ayat 62, Allah mengingatkan kita bahwa Dia selalu ada dan siap mendengarkan, bahkan ketika kita merasa sendirian dan tak memiliki siapa pun.
Ketika kita merasa putus asa, ingatlah ayat ini. Ketika kita merasa tak ada lagi harapan, tengoklah ayat ini. Surah An-Naml ayat 62 adalah pengingat abadi bahwa dalam setiap kesulitan, ada Sang Maha Pendengar dan Sang Maha Pelindung yang senantiasa siap menjawab panggilan jiwa yang tulus. Ia adalah mercusuar harapan di tengah badai kehidupan, yang mengajarkan kita untuk senantiasa berserah diri dan berpegang teguh pada rahmat-Nya.