Ilustrasi Jemaah dan Baitullah.
Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi setiap Muslim yang mampu, baik secara fisik maupun finansial. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat sejumlah ketentuan dan batasan yang harus dipenuhi. Salah satu aspek yang seringkali menimbulkan pertanyaan adalah mengenai larangan haji bagi laki-laki. Sebelum membahas lebih lanjut, penting untuk meluruskan pemahaman bahwa secara fundamental, Islam tidak memberlakukan larangan absolut bagi laki-laki muslim yang baligh dan berakal untuk menunaikan haji.
Larangan yang dimaksud dalam konteks ibadah haji seringkali merujuk pada kondisi-kondisi spesifik yang menghalangi seseorang dari melaksanakan rukun Islam ini, bukan karena jenis kelaminnya. Bagi laki-laki, syarat utama untuk melaksanakan haji adalah Istitha'ah (kemampuan) dan kepemilikan bekal yang cukup. Jika syarat ini terpenuhi, maka seorang laki-laki muslim wajib segera menunaikan ibadah haji.
Meskipun tidak ada larangan syar'i yang ditujukan spesifik untuk laki-laki dalam melaksanakan haji, terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan seorang laki-laki dilarang atau setidaknya dianjurkan untuk menunda keberangkatannya. Kondisi ini bersifat umum bagi semua calon jamaah, namun memiliki implikasi penting bagi laki-laki sebagai kepala rumah tangga atau pencari nafkah utama.
Syarat paling mendasar dalam haji adalah kemampuan finansial. Laki-laki dilarang melaksanakan haji jika ia tidak memiliki cukup harta untuk membiayai perjalanan, akomodasi, dan kebutuhan selama di tanah suci, sementara ia masih memiliki tanggungan yang membutuhkan nafkahnya di rumah. Dalam pandangan fiqih, menunaikan haji dengan meninggalkan tanggungan yang terancam kelaparan adalah perbuatan yang dilarang karena mendahulukan ibadah sunnah (haji, jika ia belum pernah) atau kewajiban yang tertunda di atas kewajiban primer (menafkahi keluarga).
Haji adalah ibadah fisik yang menuntut stamina prima. Seorang laki-laki yang sedang dalam kondisi sakit parah yang tidak memungkinkan baginya untuk melakukan tawaf, sa'i, dan ritual lainnya di tengah keramaian, maka ia dilarang sementara waktu untuk berangkat. Larangan di sini bersifat penundaan hingga ia pulih, bukan penghapusan kewajiban seumur hidup (kecuali ia menjadi lumpuh permanen dan harus dihajikan oleh badal haji).
Dalam konteks sosial, seorang laki-laki mungkin menghadapi situasi darurat di mana kehadirannya lebih dibutuhkan di tempat tinggalnya daripada di Mekkah. Contohnya, jika ada peperangan yang mengancam keamanan keluarga, atau jika ia adalah satu-satunya orang yang dapat mengurus warisan mendesak. Situasi ini menciptakan konflik antara kewajiban melaksanakan haji dan kewajiban menjaga keselamatan keluarga atau harta benda yang lebih mendesak.
Seringkali kebingungan muncul karena adanya batasan yang lebih spesifik bagi wanita, seperti keharusan adanya mahram untuk bepergian jarak jauh (meskipun pandangan ulama kontemporer mengenai syarat mahram ini telah banyak berkembang, terutama dengan adanya travel resmi). Bagi laki-laki, batasan ini tidak berlaku. Laki-laki muslim dapat berangkat haji sendiri tanpa ditemani mahram.
Oleh karena itu, jika merujuk pada literatur agama, tidak ada "larangan haji bagi laki-laki" sebagai kategori umum. Yang ada adalah larangan atau penundaan yang bersyarat, yang intinya adalah:
Jika seorang laki-laki memaksakan diri berangkat haji padahal ia belum memenuhi syarat mampu—misalnya meninggalkan keluarga yang kelaparan—maka ibadah hajinya secara syar'i mungkin sah secara rukun, namun ia menanggung dosa besar karena mengabaikan kewajiban primer menafkahi keluarganya. Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah muamalah (sosial).
Kesimpulannya, fokus utama ketentuan haji bagi laki-laki adalah pada terpenuhinya syarat kemampuan dan tidak adanya halangan syar'i yang lebih berat. Selama seorang laki-laki mampu, ia justru didorong untuk segera menunaikan haji, karena ini adalah kesempatan sekali seumur hidup untuk menyempurnakan rukun Islamnya.
Memahami batasan ini membantu setiap calon jamaah laki-laki untuk mempersiapkan diri secara holistik, tidak hanya dari segi bekal finansial dan fisik, tetapi juga memastikan bahwa seluruh tanggung jawab domestik telah terkelola dengan baik sebelum memutuskan untuk berangkat ke Tanah Suci.