Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan sekali seumur hidup bagi setiap Muslim yang mampu, baik secara fisik maupun finansial. Dalam pelaksanaannya, syariat Islam memiliki aturan-aturan spesifik yang menyangkut jamaah laki-laki maupun perempuan. Salah satu isu yang sering menjadi sorotan dalam pembahasan fikih adalah mengenai batasan-batasan atau 'larangan' yang diberlakukan khusus bagi jamaah perempuan.
Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks ibadah haji modern, istilah "larangan" lebih tepat dipahami sebagai "persyaratan" atau "ketentuan khusus" yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil syar'i, bukan diskriminasi gender. Ketentuan ini umumnya bertujuan untuk menjaga kemaslahatan, kehormatan, serta kesempurnaan pelaksanaan ritual ibadah.
Ketentuan paling signifikan yang secara historis membatasi perempuan dalam melaksanakan haji—terutama dalam konteks perjalanan jauh sebelum era transportasi modern—adalah keharusan adanya mahram. Mahram adalah laki-laki yang haram dinikahi selamanya (seperti ayah, saudara kandung, paman, atau suami).
Mayoritas ulama klasik berpegang pada hadis yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh melakukan perjalanan jauh (termasuk haji) tanpa didampingi mahram. Tujuannya utama adalah perlindungan dan keamanan selama perjalanan yang rentan dan panjang. Tanpa mahram, perjalanan dianggap tidak aman secara syar'i pada masa lampau.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa interpretasi mengenai keharusan mahram ini telah mengalami evolusi seiring perubahan zaman dan kondisi sosial. Banyak ulama kontemporer, terutama yang berpegangan pada pandangan mazhab Hanafi yang lebih longgar dalam konteks safar (perjalanan), berpendapat bahwa jika keamanan jamaah perempuan terjamin, seperti dalam rombongan travel yang aman atau dengan sesama jamaah terpercaya, persyaratan mahram dapat digugurkan atau dianggap tidak wajib.
Meskipun bukan larangan mutlak untuk berhaji, terdapat batasan spesifik terkait apa yang dikenakan perempuan selama berihram. Larangan ini bersifat teknis dalam pelaksanaan ritual:
Salah satu "larangan" praktis yang paling sering dihadapi perempuan adalah kondisi haid (menstruasi). Secara syariat, perempuan yang sedang haid dilarang untuk melakukan beberapa ritual utama haji, seperti:
Namun, kondisi haid tidak menghilangkan status haji seseorang. Jika seorang perempuan berhaji dan mengalami haid saat ingin bertawaf Ifadah (tawaf wajib haji), ia tetap berada dalam status ihramnya dan harus menunggu hingga suci untuk menyelesaikan ritual tersebut. Mayoritas ulama sepakat bahwa ia boleh melakukan sa'i (berlari antara Safa dan Marwah) meski dalam keadaan haid, karena ritual tersebut tidak mensyaratkan kesucian sempurna seperti shalat.
Seiring dengan kemudahan transportasi dan jaminan keamanan yang disediakan oleh pemerintah Arab Saudi dan biro perjalanan terpercaya, pandangan mengenai mahram telah melunak. Saat ini, banyak otoritas Islam mengizinkan perempuan untuk berangkat haji dalam kelompok aman tanpa mahram, asalkan perjalanan tersebut dijamin keamanannya. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan selalu mempertimbangkan prinsip kemaslahatan publik.
Kesimpulannya, "larangan haji bagi perempuan" adalah terminologi yang kurang tepat. Yang ada adalah seperangkat ketentuan khusus—terutama terkait mahram (dalam tafsiran lama), pakaian, dan batasan ritual saat haid—yang semuanya dirancang untuk menjaga ibadah tetap sah, aman, dan sesuai dengan tuntunan syariat, tanpa menghalangi mereka untuk menunaikan rukun Islam kelima ini.