Di tengah dinamika ekonomi dan kebijakan energi yang terus berubah, harga Pertalite lama seringkali menjadi topik hangat yang memicu nostalgia sekaligus perbincangan serius mengenai daya beli masyarakat. Sebelum BBM jenis Pertalite mengalami penyesuaian harga signifikan atau bahkan digantikan oleh produk lain sesuai klasifikasi oktan, harga yang berlaku pada masa lalu memberikan gambaran jelas tentang struktur subsidi energi pemerintah pada periode tertentu.
Pertalite, sebagai bahan bakar dengan kadar oktan 90, diciptakan sebagai solusi transisi antara Premium (RON 88) dan Pertamax (RON 92). Tujuannya adalah menyediakan pilihan yang lebih baik dari Premium namun tetap terjangkau bagi mayoritas konsumen kendaraan bermotor di Indonesia. Oleh karena itu, penetapan harga Pertalite selalu berada di bawah harga pasar internasional, menandakan adanya intervensi subsidi dari negara.
Ingatan kolektif masyarakat terhadap harga Pertalite lama sangat kuat karena beberapa faktor utama. Pertama, konsistensi harga dalam jangka waktu tertentu memberikan kepastian anggaran bagi rumah tangga dan pelaku usaha transportasi. Fluktuasi harga BBM, sekecil apa pun, dampaknya akan terasa langsung pada biaya operasional harian. Ketika harga berada di level yang dianggap "murah" atau stabil, beban pengeluaran rutin menjadi lebih ringan.
Kedua, harga Pertalite lama merepresentasikan periode di mana subsidi energi masih sangat signifikan. Pemerintah saat itu menanggung sebagian besar selisih antara harga keekonomian (harga pasar) dan harga jual di tingkat konsumen. Periode subsidi besar ini, meskipun membantu menjaga inflasi tetap rendah, juga menimbulkan tantangan fiskal bagi kas negara.
Untuk memberikan perspektif yang lebih konkret, mari kita lihat bagaimana posisi harga Pertalite lama dibandingkan dengan harga saat ini atau harga Premium di masa lampau. Meskipun sulit menentukan satu harga "lama" tunggal karena adanya penyesuaian berkala, titik harga sebelum kenaikan besar selalu menjadi patokan perbandingan.
| Jenis BBM | Harga Patokan Periode Awal (Contoh) | Harga Patokan Periode Sebelum Perubahan Besar |
|---|---|---|
| Premium (RON 88) | Rp 6.450/Liter | Rp 10.000/Liter (Sebelum dihapus/diganti) |
| Pertalite (RON 90) | Rp 6.750/Liter | Rp 7.650/Liter (Titik harga yang sering dibahas) |
| Pertamax (RON 92) | Rp 8.000/Liter | Rp 9.000 - Rp 9.800/Liter |
*Catatan: Angka di atas adalah ilustratif untuk menunjukkan rentang perbandingan harga di masa lalu, bukan data resmi harga spesifik pada tanggal tertentu. Harga BBM selalu mengikuti kebijakan penetapan dari pemerintah dan BUMN penyalur.*
Ketika harga Pertalite lama mulai bergeser naik, efek domino langsung terasa. Sektor transportasi menjadi yang paling sensitif. Para pengemudi ojek online, sopir angkutan umum, hingga distribusi barang logistik harus menyesuaikan tarif mereka. Kenaikan biaya operasional ini seringkali diteruskan kepada konsumen akhir dalam bentuk kenaikan harga barang dan jasa.
Namun, di sisi lain, kenaikan harga BBM bersubsidi seringkali diiringi dengan upaya pemerintah untuk mengarahkan masyarakat beralih ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan atau memiliki spesifikasi yang lebih tinggi (seperti Pertamax). Tujuannya adalah mengurangi beban subsidi BBM secara keseluruhan dan mendorong efisiensi energi serta perbaikan kualitas udara. Transisi dari harga yang disubsidi besar-besaran menuju harga yang mendekati keekonomian adalah langkah yang diambil demi kesehatan fiskal jangka panjang negara.
Meskipun kini fokus telah bergeser pada BBM dengan spesifikasi lebih tinggi, pembahasan mengenai harga Pertalite lama tetap relevan sebagai pengingat akan keseimbangan sulit antara menjaga daya beli masyarakat dan mengelola keuangan negara dari subsidi energi yang masif. Konsumen kini dituntut lebih bijak dalam memilih bahan bakar yang sesuai dengan kebutuhan kendaraan mereka dan kemampuan finansial yang tersedia.