Memahami Bahasa Bisindo: Inovasi Bahasa Isyarat Indonesia

Bahasa Bisindo, singkatan dari Bahasa Isyarat Indonesia, merupakan sebuah perkembangan penting dalam dunia komunikasi bagi komunitas Tuli di Indonesia. Berbeda dengan anggapan bahwa bahasa isyarat hanyalah terjemahan langsung dari bahasa lisan, Bisindo adalah bahasa visual-spasial yang memiliki struktur, tata bahasa, dan kosakatanya sendiri. Perkembangannya didorong oleh kebutuhan untuk memiliki bahasa isyarat yang murni Indonesia, tanpa terlalu terikat pada struktur bahasa Indonesia lisan (yang sering memicu penggunaan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia/SIBI di masa lalu).

Apa Itu Bahasa Bisindo?

Bisindo lahir dari inisiatif dan kebutuhan mendesak komunitas Tuli. Bahasa ini dibangun secara alami melalui interaksi antar penutur Tuli, menjadikannya bahasa yang otentik dan relevan dengan konteks budaya serta sosial Indonesia. Bahasa isyarat memiliki tiga komponen utama: bentuk tangan (handshape), gerakan (movement), dan lokasi (location) di ruang isyarat, serta ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang memainkan peran tata bahasa krusial.

Perbedaan mendasar antara Bisindo dan SIBI terletak pada filosofinya. SIBI cenderung bersifat artifisial, yaitu mencoba memetakan setiap kata dalam Bahasa Indonesia ke dalam isyarat tertentu, sehingga seringkali sulit dipahami secara alami oleh penutur Tuli asli yang menggunakan bahasa isyarat secara intuitif. Sebaliknya, Bisindo dikembangkan dari bawah ke atas (bottom-up), mengakar kuat pada identitas visual dan pengalaman hidup komunitas Tuli.

KOMUNIKASI Visual dan Spasial

Ilustrasi Konsep Komunikasi Visual dalam Bahasa Isyarat.

Pentingnya Pengakuan dan Sosialisasi

Pengakuan terhadap Bisindo sangat krusial karena ia merupakan bahasa ibu (first language) bagi banyak penutur Tuli. Ketika sebuah komunitas menggunakan bahasa yang diakui secara alami, hal ini meningkatkan literasi, rasa percaya diri, dan partisipasi penuh mereka dalam masyarakat. Sayangnya, dominasi SIBI dalam ranah pendidikan dan pemerintahan selama bertahun-tahun sempat menghambat perkembangan Bisindo sebagai bahasa resmi.

Namun, semangat komunitas Tuli tidak padam. Berbagai organisasi dan pegiat inklusivitas kini giat melakukan sosialisasi dan pelatihan Bisindo. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang ramah tuli, di mana Bisindo dapat digunakan tanpa hambatan, baik dalam interaksi sehari-hari, layanan publik, maupun media massa. Ini termasuk upaya mendokumentasikan leksikon Bisindo secara digital.

Bisindo di Era Digital

Teknologi memainkan peran ganda dalam penyebaran Bisindo. Di satu sisi, kurangnya konten digital dalam Bisindo menjadi tantangan. Namun, di sisi lain, media sosial telah menjadi ruang vital bagi komunitas Tuli untuk saling terhubung, menciptakan konten, dan mengajarkan isyarat baru secara mandiri. Video-video singkat yang menunjukkan cara membuat isyarat tertentu untuk istilah modern sangat populer dan efektif dalam menyebarkan kesadaran.

Mempelajari Bisindo bukan hanya tentang menguasai gerakan tangan; ini adalah tentang memahami budaya Tuli. Ekspresi wajah dalam Bisindo, misalnya, bukan sekadar hiasan, melainkan bagian integral dari tata bahasa yang dapat mengubah makna sebuah kalimat. Memahami nuansa ini menunjukkan penghormatan terhadap cara berpikir dan cara mereka berinteraksi dengan dunia.

Tantangan dan Masa Depan

Meskipun ada kemajuan, tantangan masih besar. Kebutuhan akan juru bahasa isyarat profesional yang fasih dalam Bisindo di berbagai sektor (kesehatan, hukum, pendidikan) masih sangat minim. Selain itu, sistem pendidikan perlu mengintegrasikan pengajaran Bisindo secara formal agar generasi muda Tuli mendapatkan akses penuh terhadap bahasa warisan mereka.

Bahasa Bisindo adalah bukti vitalitas budaya dan ketahanan sebuah komunitas. Ia adalah jembatan komunikasi yang dibangun dari kebutuhan, identitas, dan ekspresi diri otentik masyarakat Tuli Indonesia. Mendukung dan mempelajari Bisindo berarti membuka pintu menuju inklusivitas yang lebih mendalam dan pengakuan hak asasi manusia dalam berkomunikasi. Memahami Bisindo adalah langkah awal menghargai kekayaan linguistik Indonesia.