Ilustrasi: Ketetapan dan Perjanjian
Surat At-Taubah (Surat ke-9) memiliki kedudukan yang unik dalam Al-Qur'an, salah satunya karena tidak diawali dengan Basmalah. Ayat keempat dari surat ini menjadi landasan penting dalam menentukan hubungan antara umat Islam dengan pihak-pihak yang sedang mengadakan perjanjian damai pada masa kenabian.
"Kecuali orang-orang musyrik yang kamu (umat Islam) telah mengadakan perjanjian dengan mereka, kemudian mereka mengkhianati perjanjiannya pada setiap waktu, dan mereka tidak (pula) menahan diri (dari memerangi kamu)."
Ayat ini turun setelah periode tertentu dalam sejarah Islam, khususnya terkait dengan perjanjian damai yang telah dibuat antara kaum Muslimin di Madinah dengan berbagai suku Quraisy atau kabilah-kabilah Arab lainnya. Secara umum, ayat-ayat awal At-Taubah memberikan tenggat waktu (umumnya empat bulan) kepada kaum musyrikin Mekah dan sekitarnya untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka setelah penaklukan Mekah. Namun, ayat 4 ini memberikan pengecualian krusial.
Pengecualian ini diberikan kepada mereka yang telah terikat janji, namun janji tersebut bersifat sepihak dan tidak dihormati. Dalam hukum perang dan perjanjian internasional, pengkhianatan terhadap kesepakatan merupakan pelanggaran serius yang membatalkan perlindungan yang diberikan oleh perjanjian tersebut. Ayat ini menegaskan bahwa perlindungan hak dan perjanjian hanya berlaku bagi pihak yang memegang teguh komitmennya.
Ayat ini menyoroti dua indikator utama mengapa perjanjian tersebut dibatalkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya: pengkhianatan dan ketidakmauan untuk berhenti memerangi. Ini adalah dua pelanggaran berat dalam konteks diplomasi kuno.
Ayat ini mengajarkan prinsip keadilan: perlindungan timbal balik. Jika suatu pihak menikmati manfaat dari perjanjian damai sambil secara aktif merusaknya, mereka kehilangan hak untuk menuntut perlindungan dari kesepakatan yang sama.
Meskipun konteks historisnya spesifik, pelajaran dari At-Taubah ayat 4 tetap relevan. Ayat ini menekankan pentingnya integritas dalam setiap komitmen, baik dalam hubungan personal, bisnis, maupun antarnegara. Umat Islam diperintahkan untuk menepati janji, sebagaimana firman Allah di ayat lain. Namun, ketika berhadapan dengan pihak yang jelas-jelas tidak memiliki integritas dan terus menerus berbuat destruktif meski sudah ada kesepakatan, maka tindakan tegas (yang dalam konteks ayat ini adalah pencabutan status perlindungan) dibenarkan.
Ini adalah peringatan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, namun pengkhianatan harus dihadapi dengan ketegasan demi menjaga keamanan dan kedaulatan komunitas yang terikat janji damai. Ayat ini membuka jalan bagi ketetapan lebih lanjut dalam surat tersebut mengenai bagaimana kaum Muslimin harus bersikap terhadap mereka yang melanggar batas.
Intinya, At-Taubah ayat 4 bukan sekadar izin untuk membatalkan perjanjian, melainkan penegasan hukum ilahi bahwa perjanjian damai yang tidak didasari niat baik dan kepatuhan timbal balik akan kehilangan validitasnya di mata syariat.