Pertanyaan mengenai mengapa bahan bakar diesel secara spesifik disebut sebagai "solar" seringkali muncul di benak masyarakat Indonesia. Di banyak negara lain, bahan bakar jenis ini dikenal sebagai Diesel Fuel atau Gas Oil. Namun, di Indonesia, istilah "solar" telah menjadi sinonim yang tak terpisahkan dari bahan bakar berbasis minyak bumi yang digunakan pada mesin kompresi pembakaran (mesin diesel). Pemahaman mendalam mengenai hal ini tidak hanya berkaitan dengan nomenklatur, tetapi juga dengan karakteristik kimia dan teknis dari bahan bakar itu sendiri.
Secara historis, nama "solar" berasal dari merek dagang yang populer pada masa awal distribusi bahan bakar ini di Indonesia. Sama seperti istilah "Pepsodent" untuk pasta gigi atau "Aqua" untuk air minum kemasan, "Solar" menjadi generik karena dominasi merek tertentu di pasaran. Namun, di balik nama dagang, substansi dari bahan bakar ini adalah produk distilasi minyak bumi yang memiliki fraksi atau rentang titik didih tertentu. Solar adalah minyak yang dihasilkan setelah proses penyulingan, berbeda dengan bensin (gasoline) yang titik didihnya lebih rendah dan fraksi yang lebih ringan.
Alasan utama mengapa bahan bakar diesel menggunakan solar adalah karena komposisi kimianya sangat cocok dengan cara kerja mesin diesel. Mesin diesel beroperasi berdasarkan prinsip kompresi pembakaran. Udara dikompresi hingga mencapai suhu yang sangat tinggi, kemudian bahan bakar disuntikkan. Pembakaran terjadi seketika karena suhu tinggi tersebut—tanpa memerlukan busi seperti pada mesin bensin.
Solar memiliki kandungan hidrokarbon yang lebih berat dan lebih banyak dibandingkan bensin. Kepadatan energi (energy density) solar juga lebih tinggi, yang menjadikannya pilihan ideal untuk aplikasi yang membutuhkan torsi besar dan efisiensi operasional jangka panjang, seperti truk, bus, kapal, lokomotif, dan generator listrik.
Karakteristik kunci yang membedakan solar sebagai bahan bakar diesel adalah angka setana (cetane number). Angka setana mengukur kemampuan bahan bakar untuk menyala secara otomatis ketika disemprotkan ke udara panas bertekanan tinggi di ruang bakar. Semakin tinggi angka setana, semakin cepat bahan bakar tersebut menyala.
Solar berkualitas tinggi memiliki angka setana yang ideal untuk memastikan pembakaran yang mulus, efisien, dan menghasilkan emisi yang lebih terkontrol. Jika bahan bakar yang digunakan terlalu sulit terbakar (angka setana rendah), akan terjadi keterlambatan penyalaan (ignition delay), yang menyebabkan suara mesin kasar (ngelitik), getaran berlebihan, peningkatan konsumsi bahan bakar, dan peningkatan emisi jelaga (particulate matter). Oleh karena itu, formula kimia solar dirancang khusus untuk mencapai angka setana optimal bagi mesin diesel modern.
Perbedaan mendasar antara solar dan bensin terletak pada titik didih dan volatilitas. Solar lebih kental, kurang volatil, dan memiliki titik nyala yang lebih tinggi. Inilah mengapa mesin diesel tidak menggunakan sistem percikan api (busi), melainkan mengandalkan kompresi panas. Jika bensin dimasukkan ke mesin diesel, volatilitasnya yang tinggi akan menyebabkan detonasi dini dan kerusakan parah pada mesin karena sifat pembakarannya yang cepat dan eksplosif, bukan pembakaran bertahap yang dikontrol oleh injeksi tekanan tinggi seperti pada solar.
Singkatnya, bahan bakar diesel menggunakan solar karena komposisi fraksionalnya—yang lebih berat, kaya akan energi per volume, dan memiliki kemampuan penyalaan mandiri (uji setana) yang diperlukan untuk siklus kerja kompresi pembakaran mesin diesel. Meskipun kini muncul varian seperti Biofuel atau Dexlite, inti dari bahan bakar diesel tetaplah fraksi minyak bumi yang kita kenal di Indonesia sebagai 'solar'.