Memulai babak kehidupan sebagai seorang mahasiswa adalah titik balik yang monumental. Rasanya seperti melompat dari sebuah perahu kecil yang familiar menuju lautan luas yang penuh misteri sekaligus janji. Sebelum menginjakkan kaki di gerbang universitas, saya adalah pribadi yang dibentuk oleh lingkungan sederhana, penuh semangat ingin tahu, namun sedikit ragu akan arah tujuan yang sebenarnya. Dunia perkuliahan, dengan segala hierarki dan tuntutan intelektualnya, menjadi wadah pertama yang benar-benar menguji batas kemampuan dan mentalitas saya.
Semester pertama adalah periode adaptasi yang brutal. Dari sistem pembelajaran terstruktur di sekolah, saya tiba-tiba dihadapkan pada kebebasan yang menuntut tanggung jawab penuh. Kuliah tidak lagi sekadar mendengarkan ceramah; ini adalah seni mengelola waktu, membaca ribuan halaman literatur, dan yang paling penting, berdebat secara kritis. Saya ingat malam-malam tanpa tidur, bukan karena begadang, melainkan karena berusaha keras memahami konsep Fisika Kuantum yang terasa abstrak atau menjabarkan teori sosiologi yang kompleks. Kegagalan dalam ujian pertama menjadi tamparan keras, namun sekaligus menjadi katalisator. Momen itulah yang memaksa saya berhenti bersikap pasif. Saya mulai aktif di kelompok belajar, memberanikan diri bertanya pada dosen, dan secara sadar mencari literatur di luar kurikulum wajib.
Penemuan diri di bangku kuliah tidak hanya terjadi di ruang kelas. Kegiatan organisasi menjadi laboratorium sosial yang tak ternilai harganya. Saya bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa yang berfokus pada advokasi sosial. Di sana, saya belajar bahwa gelar akademik harus sejalan dengan empati terhadap isu-isu di sekitar kita. Mengorganisir diskusi publik, menggalang dana untuk korban bencana, atau sekadar menjadi pendengar yang baik bagi sesama mahasiswa yang mengalami tekanan mental—semua pengalaman itu mengasah soft skill yang tidak akan pernah saya dapatkan dari mata kuliah mana pun. Saya mulai memahami bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya tentang IPK, tetapi tentang kontribusi yang bisa kita berikan pada ekosistem tempat kita berada.
Memasuki pertengahan studi, tantangan bergeser dari sekadar memahami materi menjadi mengaplikasikannya. Skripsi, atau tugas akhir, adalah puncak dari perjalanan akademik. Proses penelitian adalah siksaan sekaligus kenikmatan. Saya menghabiskan berbulan-bulan bergumul dengan data, formulasi hipotesis, dan penolakan revisi dari dosen pembimbing. Ada fase di mana saya merasa sangat terisolasi, mempertanyakan apakah pilihan jurusan ini benar-benar jalan hidup saya. Krisis eksistensial ini umum terjadi; kita dibentuk untuk menjadi ahli di satu bidang, namun dunia nyata menawarkan spektrum pilihan yang jauh lebih luas.
Namun, kesulitan itu mengajarkan resiliensi. Saya belajar bahwa penelitian yang baik bukanlah tentang mendapatkan hasil yang sempurna, melainkan tentang proses bertanya yang gigih. Ketika akhirnya naskah skripsi saya diterima, rasanya bukan sekadar kelulusan mata kuliah, melainkan validasi atas dedikasi dan ketekunan selama bertahun-tahun. Tesis ini menjadi cerminan dari perjuangan pribadi: dari mahasiswa yang takut mengangkat tangan, kini saya mampu mempertahankan argumen berdasarkan data empiris.
Pengalaman sebagai mahasiswa telah membentuk kerangka berpikir saya. Saya meninggalkan kampus bukan sebagai produk jadi, melainkan sebagai individu yang fleksibel dan siap belajar berkelanjutan. Masa kuliah mengajarkan bahwa kurikulum di kelas hanya menyediakan peta dasar, namun keberanian untuk menyimpang dari peta itulah yang membuka pemandangan baru. Saya membawa bekal kemampuan analisis, etos kerja keras yang teruji di bawah tekanan, serta jaringan pertemanan dan mentor yang tak ternilai.
Autobiografi singkat ini adalah pengakuan atas transisi dari ketidakpastian menjadi pemahaman yang lebih solid. Perjalanan dari seorang siswa yang bingung menjadi seorang sarjana yang siap berkontribusi bukanlah garis lurus, melainkan serangkaian naik turun yang membentuk karakter. Kini, ketika saya menatap ke depan, tantangan baru menanti, namun saya melangkah maju dengan keyakinan bahwa fondasi yang diletakkan di bangku perkuliahan sudah cukup kokoh untuk menahan badai apa pun di dunia profesional.