Surah At-Taubah (Surah Kesembilan) dalam Al-Qur'an ditutup dengan dua ayat yang sangat menyentuh dan memberikan gambaran mendalam tentang sifat dan keteguhan hati Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memimpin umatnya. Ayat 128 dan 129 ini merupakan penutup yang agung, menekankan kasih sayang Nabi terhadap umatnya dan kepasrahan beliau kepada Allah SWT.
Dua ayat terakhir ini sering disebut sebagai penutup kenabian, memberikan pelajaran universal tentang bagaimana seorang pemimpin sejati berinteraksi dengan pengikutnya, khususnya ketika menghadapi kesulitan atau keraguan di antara mereka.
Ayat ini adalah pujian tertinggi dari Allah SWT kepada Rasulullah ﷺ. Kata kunci pertama adalah "min anfusikum", yang berarti Nabi berasal dari golongan yang sama dengan umatnya, yaitu manusia Arab. Hal ini menghilangkan jarak psikologis; beliau bukan entitas asing, melainkan bagian dari mereka.
Kemudian, Allah menggambarkan sifat kehati-hatian dan empati Nabi. Frasa "azizun 'alaihi ma 'anittum" (berat baginya jika kamu mengalami kesulitan) menunjukkan betapa dalamnya kepedulian Rasulullah terhadap penderitaan fisik, mental, atau spiritual umatnya. Beliau merasakan sakit umatnya seolah itu adalah sakitnya sendiri.
Lebih lanjut, "harishun 'alaikum bil mu'minina ra'ufun rahim" (sangat menginginkan kebaikan bagimu, berbelas kasih dan penyayang kepada orang-orang yang beriman). Sifat harish (amat menginginkan) menunjukkan dorongan kuat beliau agar umatnya mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Sifat ra'uf (sangat belas kasih) dan rahim (penyayang) menegaskan bahwa inti dari risalah beliau adalah rahmat, sesuai dengan julukannya sebagai Rahmatan lil 'Alamin (Rahmat bagi seluruh alam).
Ayat ini menanamkan rasa cinta dan penghormatan yang mendalam kepada Nabi, karena beliau telah mengorbankan kenyamanan pribadinya demi kesejahteraan umatnya.
Ayat penutup ini memberikan instruksi ilahi kepada Rasulullah dalam menghadapi kemungkinan penolakan atau kemunafikan. Setelah digambarkan dengan sifat kasih sayang yang luar biasa, ayat ini mengajarkan konsep 'tawakal' yang tertinggi.
Ayat ini dimulai dengan syarat: "Fa in tawallaw" (Maka jika mereka berpaling). Jika setelah semua upaya kasih sayang, bimbingan, dan keteladanan yang ditunjukkan Rasulullah, masih ada yang memilih untuk berpaling dari kebenaran, maka reaksi yang diperintahkan bukanlah keputusasaan atau kemarahan yang menjatuhkan, melainkan penegasan tauhid.
Perintahnya adalah, "Qul hasbiyallahu" (Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku!). Ini adalah deklarasi kemandirian spiritual total. Nabi tidak membutuhkan validasi atau persetujuan manusia jika Allah telah bersama dengannya. Dengan mengatakan ini, beliau menegaskan bahwa sumber kekuatan dan pertolongan beliau adalah mutlak dari Sang Pencipta.
Puncak dari keteguhan ini diperkuat dengan pengakuan tauhid: "La ilaha illa Huwa" (Tidak ada Tuhan selain Dia). Kemudian, Nabi diperintahkan untuk menyatakan pusat spiritualnya: "'Alaihi tawakkaltu" (Hanya kepada-Nya aku bertawakal). Tawakal di sini bukan berarti pasif, melainkan penyerahan hasil akhir kepada kehendak Allah setelah melakukan usaha maksimal.
Penutup ayat ini, "Wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Azhim" (Dialah Tuhan pemilik 'Arsy yang agung), memberikan dimensi kebesaran. Tawakal beliau tidak ditujukan kepada entitas kecil, melainkan kepada Tuhan yang menguasai alam semesta, yang singgasananya ('Arsy) adalah pusat kekuasaan kosmik. Ini memberikan rasa aman dan kepastian bahwa di balik segala kepelikan urusan duniawi, ada Pemilik kekuasaan tertinggi yang menaungi hamba-Nya yang teguh.
At-Taubah ayat 128 dan 129 bukan hanya kisah historis tentang Nabi Muhammad, tetapi juga pedoman abadi bagi setiap pemimpin dan individu Muslim. Ayat 128 mengajarkan kita tentang pentingnya empati, kasih sayang, dan pengorbanan dalam berdakwah atau memimpin. Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk meringankan kesulitan sesama.
Sementara itu, ayat 129 mengajarkan tentang keteguhan prinsip dan batasan pengharapan. Jika kita telah berbuat baik dan benar sesuai ajaran Allah, namun tetap mendapatkan penolakan, maka fokus kita harus dikembalikan kepada Allah semata. Kepuasan sejati datang dari keyakinan bahwa Allah sudah mencukupi, terlepas dari reaksi manusia.
Kesinambungan antara kedua ayat ini sangat indah: kesabaran dalam memberi kasih sayang (Ayat 128) dibarengi dengan persiapan mental untuk menghadapi penolakan melalui tawakal penuh (Ayat 129). Kedua sifat ini adalah pilar utama dalam menghadapi tantangan hidup dengan iman yang kokoh.