Surat At-Taubah, yang dikenal sebagai surat Madaniyah terakhir yang diturunkan secara keseluruhan, membawa banyak sekali ajaran mengenai tatanan sosial, perang, dan hubungan antara umat Islam dengan Ahli Kitab. Di tengah pembahasan yang luas ini, terdapat dua ayat yang sangat fundamental dalam menentukan sikap umat Islam terhadap kelompok tertentu, yaitu At-Taubah ayat 29 dan 30. Ayat ini sering menjadi titik fokus dalam kajian fikih siyasah (hukum politik Islam) dan muamalah (hubungan sosial) antarperbedaan keyakinan.
Ayat 29 secara spesifik menargetkan kelompok Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang belum menerima risalah Islam sepenuhnya dan belum tunduk pada otoritas serta syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Perintah dalam ayat ini bukanlah ajakan untuk membenci atau memusuhi secara fisik, melainkan ketetapan hukum mengenai interaksi sosial dan politik yang harus diterapkan oleh kaum Muslimin saat itu.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak menganut agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS. At-Taubah: 29)
(Terjemahan singkat: Perangilah Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak menganut agama yang hak, hingga mereka membayar jizyah dalam keadaan tunduk.)Perintah untuk "perangilah" dalam ayat ini harus dipahami dalam konteks historis peperangan yang defensif atau sebagai penegasan kedaulatan hukum Islam saat itu. Ayat ini menetapkan batas interaksi. Jika Ahli Kitab memilih untuk tetap berada di bawah naungan kekuasaan negara Islam namun tidak sepenuhnya menerima syariatnya, mereka diberikan opsi untuk hidup damai dengan membayar jizyah. Jizyah adalah kompensasi atau pajak perlindungan yang secara historis menggantikan kewajiban mereka untuk ikut berperang (yang menjadi kewajiban bagi Muslim), sebagai imbalan atas jaminan keamanan, perlindungan harta benda, dan kebebasan menjalankan keyakinan mereka. Syaratnya adalah pembayaran harus dilakukan dalam keadaan "tunduk" (shāghirīn), yang sering diartikan sebagai kesediaan untuk hidup di bawah konstitusi dan aturan umum negara Islam, bukan penyerahan total keyakinan pribadi.
"Orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair itu putra Allah'; dan orang-orang Nasrani berkata: 'Al-Masih itu putra Allah'. Itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang yang kafir dahulu. Allah memerangi mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimana mereka begitu terpedaya?" (QS. At-Taubah: 30)
(Terjemahan singkat: Orang Yahudi berkata Uzair adalah putra Allah, dan orang Nasrani berkata Al-Masih adalah putra Allah. Itu ucapan mereka dengan mulut mereka, meniru ucapan orang kafir terdahulu. Allah melaknat mereka. Bagaimana mereka berpaling?)Ayat 30 berfungsi sebagai penguatan alasan mengapa interaksi dengan mereka harus dibatasi pada kerangka jizyah. Ayat ini secara tegas mengkritik keyakinan sebagian kalangan Yahudi dan Nasrani yang mengasosiasikan ketuhanan dengan makhluk (Uzair dan Al-Masih/Isa AS). Kritik ini adalah penegasan kembali prinsip dasar tauhid (keesaan Allah SWT) yang menjadi inti ajaran Islam.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini mengecam klaim teologis spesifik tersebut, bukan seluruh eksistensi mereka. Para mufassir menekankan bahwa perintah perang atau ketetapan jizyah dalam ayat 29 hanya berlaku bagi mereka yang secara aktif menolak prinsip kedaulatan Islam atau mengancam eksistensi komunitas Muslim, bukan ditujukan kepada setiap individu Ahli Kitab yang hidup damai.
Dalam konteks modern, ayat 29 dan 30 jarang sekali diterapkan dalam konteks peperangan fisik. Para ulama kontemporer cenderung memindahkan makna ayat ini ke ranah hukum konstitusional dan hak minoritas. Ayat ini menjadi dasar bagi konsep dhimmi (sekarang sering diterjemahkan sebagai warga negara non-Muslim yang dilindungi) dalam negara yang berdasarkan syariat Islam. Mereka memiliki hak untuk beribadah sesuai keyakinan mereka selama mereka mematuhi hukum sipil dan membayar pajak (yang kini sering disamakan dengan pajak warga negara pada umumnya, seperti PPN atau pajak pendapatan).
Kritik teologis pada ayat 30 mengingatkan umat Islam untuk tetap teguh pada prinsip tauhid, namun juga mengajarkan bahwa perbedaan keyakinan fundamental tidak otomatis menghilangkan hak hidup seseorang. Fokusnya beralih dari konflik bersenjata menjadi bagaimana masyarakat multikultural dapat hidup berdampingan di bawah payung hukum yang adil, di mana kedaulatan Allah diakui dalam hukum publik, sementara keyakinan pribadi (seperti yang dianut oleh Ahli Kitab) dihormati selama tidak melanggar ketertiban umum. Pemahaman yang seimbang antara ketegasan tauhid dan kebijakan muamalah inilah yang menjadi pelajaran utama dari dua ayat penting dalam Surat At-Taubah ini.