Keabadian Ketetapan Bulan-Bulan Haram: Telaah At-Taubah Ayat 36 & 37

Zulqa'dah Dzulhijjah Muharram Peringatan

Kitab suci Al-Qur'an mengandung berbagai ketentuan hukum, hikmah, dan kisah yang relevan sepanjang masa. Di antara ayat-ayat yang menjelaskan struktur waktu dan batasan syariat, Surat At-Taubah ayat 36 dan 37 menempati posisi penting. Kedua ayat ini secara eksplisit menetapkan jumlah bulan-bulan dalam setahun dan menegaskan status sakral empat bulan di antaranya, yang dikenal sebagai Asyhurul Hurum (Bulan-Bulan Haram). Pemahaman mendalam terhadap ayat ini sangat krusial untuk mengerti bagaimana Islam memandang harmoni, larangan peperangan, dan penghormatan terhadap waktu-waktu tertentu.

Penetapan Jumlah Bulan dan Status Bulan Haram (At-Taubah: 36)

Ayat 36 menjadi landasan fundamental terkait kalender Hijriyah dan pembagian waktu. Allah SWT menegaskan bahwa penciptaan langit dan bumi melibatkan penetapan jumlah bulan.

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah (di waktu Dia menciptakan langit dan bumi), di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketentuan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam (bulan yang) empat itu..."

(QS. At-Taubah: 36)

Ayat ini menyatakan bahwa sejak awal penciptaan, Allah telah menetapkan bahwa satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Penegasan ini berfungsi sebagai koreksi terhadap praktik masyarakat Arab jahiliyah yang terkadang mengubah-ubah jumlah bulan demi kepentingan perang atau keuntungan duniawi (seperti praktik nasii').

Yang terpenting dari ayat ini adalah penekanan pada empat bulan yang diistimewakan, yaitu empat bulan haram. Meskipun ayat ini tidak merinci nama-nama bulan tersebut, penafsiran yang diterima secara luas berdasarkan hadis adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Status "haram" di sini mengandung makna larangan keras untuk melakukan peperangan dan permusuhan di dalamnya, kecuali jika ada pihak yang memulai agresi terlebih dahulu.

Penekanan "maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam (bulan yang) empat itu" menunjukkan bahwa melanggar kesucian bulan-bulan ini adalah bentuk penindasan atau kezaliman terhadap diri sendiri. Ketika larangan peperangan dilanggar dalam bulan-bulan suci, dampak negatifnya tidak hanya pada kerugian fisik tetapi juga kerugian spiritual dan pelanggaran terhadap ketetapan ilahi yang fundamental. Ini adalah penegasan bahwa hukum Allah bersifat mengikat dan bijaksana.

Konsekuensi Pelanggaran dan Konteks Historis (At-Taubah: 37)

Ayat 37 melanjutkan pembahasan dengan memberikan konteks historis mengenai bagaimana umat terdahulu atau bahkan kaum Quraisy saat itu sering kali menyalahgunakan status bulan haram ini.

"Sesungguhnya mengundurkan (perang) dari satu bulan ke bulan lain (padanya) hanyalah pertambahan kekafiran, yang dengannya orang-orang kafir disesatkan. Mereka menghalalkannya pada satu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, untuk disesuaikan dengan bilangan yang Allah haramkan, dan mereka menghalalkan yang diharamkan Allah. Dijadikan terasa baik bagi mereka perbuatan-perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir."

(QS. At-Taubah: 37)

Ayat ini secara spesifik mengkritik praktik nasii' (penundaan bulan haram). Jika suatu suku ingin berperang di bulan yang biasanya haram, mereka akan menukar bulan tersebut dengan bulan lain yang dianggap tidak suci, sehingga mereka bisa berperang tanpa melanggar larangan langsung, namun tetap mengacaukan tatanan syariat. Tindakan manipulasi kalender ini dianggap sebagai peningkatan kekafiran karena berarti mereka secara aktif mencoba mengganti hukum yang ditetapkan Allah dengan hukum ciptaan mereka sendiri.

Tujuannya jelas: untuk menipu umat manusia dan juga diri mereka sendiri. Dengan memindahkan batas-batas kesucian yang telah ditetapkan Allah, mereka merasa dibenarkan secara ritualistik sambil tetap memuaskan nafsu peperangan atau kepentingan duniawi. Al-Qur'an menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah kesesatan, dan perbuatan buruk yang mereka lakukan itu "dijadikan terasa baik" oleh hawa nafsu mereka sendiri.

Hikmah Hukum Dua Ayat Ini

At-Taubah 36 dan 37 mengajarkan beberapa pelajaran mendasar. Pertama, adanya struktur kosmik yang teratur yang dicerminkan dalam penetapan waktu ibadah dan hukum (12 bulan). Kedua, pentingnya penghormatan terhadap batasan-batasan yang ditetapkan oleh syariat, terutama yang berkaitan dengan waktu. Bulan haram berfungsi sebagai periode pendinginan (cooling-off period) dalam sebuah konflik, memberikan kesempatan bagi akal sehat untuk kembali berkuasa dan mencegah pertumpahan darah yang tidak perlu.

Menghormati bulan-bulan haram adalah bagian integral dari agama yang lurus (diinul qayyimah). Ketika umat Islam patuh pada ketetapan ini, mereka menunjukkan ketaatan total kepada Allah, bukan hanya dalam ritual ibadah vertikal (salat, puasa) tetapi juga dalam aspek sosial dan politik (perang dan perdamaian). Ayat-ayat ini membuktikan bahwa penetapan waktu dalam Islam bukan sekadar penanggalan biasa, melainkan bagian dari hukum ilahi yang jika diganggu gugat, akan menghasilkan kekacauan spiritual dan moral.