Mengenal Aksara Swara Sunda

Indonesia kaya akan warisan budaya tak benda, dan salah satu permata linguistik yang patut kita jaga adalah **Aksara Swara Sunda**. Aksara ini merupakan sistem penulisan asli masyarakat Sunda yang pernah jaya di masa lalu, khususnya sebelum era kolonialisme meluas. Meskipun sempat meredup popularitasnya karena dominasi aksara Latin, kini terjadi gerakan restorasi yang masif untuk menghidupkan kembali warisan leluhur ini.

Apa Itu Aksara Swara Sunda?

Secara etimologi, 'Aksara' berarti huruf atau tulisan, dan 'Swara' berarti suara. Berbeda dengan Aksara Pegon atau Carakan (Hanacaraka) yang merupakan sistem silabis atau suku kata, Aksara Swara memiliki karakteristik yang lebih mirip abugida atau bahkan alfabet murni, karena setiap aksara utamanya merepresentasikan satu fonem vokal. Sistem penulisan ini dikenal juga sebagai Aksara Sunda Baku atau Sunda Wiwitan dalam konteks tertentu, namun yang paling sering dibicarakan dalam konteks modern adalah sistem yang telah direvitalisasi berdasarkan naskah-naskah kuno.

Penggunaan utama aksara ini adalah untuk merekam bahasa Sunda kuno dan modern, mencakup berbagai aspek kehidupan mulai dari catatan sejarah, doa, hingga sastra lisan yang kemudian ditranskripsikan. Keunikan sistem ini terletak pada bagaimana ia mengelola vokal yang merupakan inti dari bahasa Sunda.

Aksara Sunda ᮃᮄ ᮃᮂ Representasi Vokal

Ilustrasi sederhana dari beberapa elemen dasar Aksara Swara Sunda.

Struktur dan Karakteristik

Berbeda dengan aksara yang digunakan dalam Carakan Sunda (yang lebih menyerupai aksara Jawa atau Bali), **Aksara Swara Sunda** memiliki seperangkat huruf yang secara eksplisit mewakili fonem vokal murni (A, I, U, É, O). Dalam sistem penulisan yang lebih lengkap, terdapat juga tanda diakritik (panéléng) yang digunakan untuk mengubah bunyi vokal dasar atau menandai nasalitas.

Keunikan lain adalah bagaimana aksara ini menangani konsonan. Dalam beberapa rekonstruksi, konsonan cenderung ditulis menggunakan bentuk dasar yang secara inheren membawa vokal 'a' (seperti dalam aksara Pallawa). Ketika vokal yang berbeda harus digunakan bersama konsonan, barulah diakritik atau aksara swara khusus dimanfaatkan, meskipun detail implementasinya bisa berbeda antar naskah kuno.

Revitalisasi dan Masa Depan

Upaya pelestarian **Aksara Swara Sunda** kini menjadi prioritas utama pemerintah daerah Jawa Barat dan komunitas budaya. Tujuannya bukan hanya untuk mengabadikan sejarah, tetapi juga mengintegrasikannya kembali ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda. Beberapa langkah konkret yang telah diambil meliputi:

Mempelajari aksara ini memberikan kita jendela langsung ke cara berpikir dan cara pandang leluhur Sunda dalam mengkodekan bahasa mereka. Ini adalah investasi penting untuk menjaga keragaman identitas budaya di Nusantara. Kesadaran kolektif sangat dibutuhkan agar Aksara Swara Sunda tidak hanya menjadi artefak museum, melainkan menjadi bahasa visual yang hidup dan relevan bagi generasi penerus.

Perjuangan untuk melestarikan aksara ini adalah perjuangan melawan homogenisasi budaya. Dengan setiap karakter yang berhasil kita baca dan tulis, kita memastikan bahwa suara leluhur Sunda tetap bergema di tengah arus modernisasi.