Surat At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara’ah, adalah salah satu surat terpenting dalam Al-Qur'an yang berbicara banyak mengenai jihad, peperangan, dan pemurnian iman umat Islam. Di tengah pembahasan yang tegas tersebut, Allah SWT menyisipkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang kualitas sejati dari orang-orang yang beriman dan totalitas pengabdian mereka kepada-Nya, khususnya yang berkaitan dengan fasilitas ibadah, yaitu masjid.
Ayat 18 hingga 20 dari Surat At-Taubah memberikan batasan tegas mengenai siapa yang berhak memakmurkan rumah Allah dan apa kedudukan iman mereka di sisi-Nya. Ayat-ayat ini adalah standar emas bagi setiap muslim untuk mengukur kedalaman cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat 18 memberikan definisi yang sangat jelas mengenai siapa yang berhak dan pantas untuk disebut sebagai 'pemakmur' (yang membangun dan menghidupkan) masjid. Kata 'memakmurkan' di sini bukan hanya sekadar membangun fisik bangunan, tetapi juga menghidupkan fungsi spiritualnya. Kriteria yang ditetapkan Allah SWT sangat fundamental dan menunjukkan integrasi totalitas iman:
Kelompok inilah yang diharapkan Allah SWT termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (al-muhtadîn). Ini menunjukkan bahwa kemakmuran masjid secara spiritual dan fisik adalah buah dari keimanan yang kokoh.
Ayat 19 menegaskan penolakan terhadap penyamaan antara amal ibadah yang didasari iman sejati dengan sekadar tradisi atau pelayanan sosial tanpa basis keimanan yang kuat. Pada konteks turunnya ayat ini, terdapat orang-orang musyrik (yang kemudian memeluk Islam namun masih memiliki mentalitas lama) yang membanggakan diri karena memberi minum jamaah haji (siqâyah) dan mengurus Ka'bah ('imārat al-masjid al-haram) di masa Jahiliyah.
Allah menegaskan, layanan mulia tersebut tidak setara dengan amal orang yang telah beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah. Perbedaannya terletak pada basis keyakinan. Tanpa iman kepada Allah dan Hari Akhir, amalan terbaik sekalipun tidak dapat menandingi amal orang beriman, bahkan jika amal itu tampak berhubungan dengan ritual keagamaan.
Ayat 20 kemudian memuncak pada deskripsi derajat tertinggi bagi hamba Allah: yaitu mereka yang tidak hanya beriman, tetapi juga membuktikan keimanan itu melalui tindakan nyata yang menuntut pengorbanan besar.
Dua bentuk pengorbanan yang ditekankan adalah: berharta benda (pengorbanan materi) dan berjiwa (pengorbanan nyawa melalui jihad di jalan Allah). Kombinasi antara keimanan yang mantap, kesiapan berhijrah demi agama, dan pengorbanan totalitas harta serta nyawa inilah yang menjadikan mereka memiliki derajat yang jauh lebih agung di sisi Allah, dan merekalah para pemenang sejati (al-fā’izûn).
Secara keseluruhan, rangkaian ayat 18 hingga 20 dari Surat At-Taubah adalah tolok ukur komprehensif mengenai kualitas seorang mukmin sejati: dari fokus internal (iman dan ibadah), ekspresi sosial (zakat), keberanian spiritual (tidak takut selain Allah), hingga pembuktian tertinggi melalui pengorbanan total di jalan-Nya.