Aksara Lampung, atau yang dikenal secara lokal sebagai Surat Lampung, adalah salah satu warisan budaya tak benda yang sangat berharga dari Provinsi Lampung, Sumatera. Meskipun kini dominasi huruf Latin sangat kuat dalam komunikasi sehari-hari, kekayaan visual dan filosofis dari aksara tradisional ini tetap dijaga dan dipelajari sebagai identitas budaya yang mengakar.
Representasi visual dari beberapa unsur Aksara Lampung.
Aksara Lampung merupakan bagian dari rumpun aksara Brahmic, serupa dengan aksara Pallawa dari India Selatan yang kemudian berkembang menjadi berbagai aksara Nusantara, seperti Hanacaraka (Jawa dan Bali) dan Surat Batak. Para ahli memperkirakan bahwa aksara ini sudah digunakan jauh sebelum masuknya pengaruh Islam, meskipun bentuk tertulisnya banyak dipengaruhi oleh tradisi yang lebih muda.
Secara struktural, Aksara Lampung adalah aksara silabis (abugida), di mana setiap huruf dasarnya mewakili satu konsonan yang secara inheren memiliki vokal inheren 'a'. Untuk mengubah vokal inheren tersebut menjadi vokal lain (seperti i, u, e, atau o), digunakanlah tanda-tanda diakritik yang ditempatkan di atas, bawah, atau di samping huruf utama. Tanda-tanda ini disebut Cacakan.
Sistem penulisan ini biasanya ditulis secara vertikal ke bawah atau horizontal dari kiri ke kanan, meskipun tradisi lama seringkali menekankan penulisan yang cenderung mengikuti alur alami dan estetika visual, seringkali menyerupai ukiran atau pahatan.
Aksara Lampung terdiri dari 20 huruf dasar (konsonan), ditambah dengan beberapa tanda vokal dan penanda akhir kata. Memahami beberapa aksara kunci sangat penting untuk menghargai filosofi di baliknya:
Setiap aksara tidak hanya mewakili bunyi fonetik, tetapi juga memiliki korelasi dengan alam, anggota tubuh, atau konsep spiritual dalam kosmologi Lampung. Misalnya, beberapa bentuk melingkar mungkin merujuk pada bentuk bulan atau telur kehidupan, sementara garis tegak lurus melambangkan tiang penyangga atau kestabilan.
Tantangan terbesar bagi Aksara Lampung saat ini adalah bagaimana mempertahankan relevansinya di tengah dominasi digital. Meskipun masih digunakan dalam upacara adat, dekorasi kain tapis, dan prasasti penting, penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari hampir hilang.
Upaya pelestarian saat ini meliputi digitalisasi font Aksara Lampung agar dapat diketik pada komputer dan perangkat seluler. Selain itu, banyak seniman dan budayawan Lampung yang giat mengajarkan aksara ini kepada generasi muda melalui festival budaya dan kurikulum sekolah lokal. Tujuannya bukan hanya agar masyarakat bisa membaca, tetapi agar mereka memahami makna dan nilai yang terkandung dalam setiap goresan aksara tersebut.
Mempelajari Aksara Lampung berarti membuka jendela menuju sejarah spiritual dan artistik masyarakat Lampung. Ia adalah jejak peradaban yang patut kita jaga agar warisan budaya ini tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi tetap hidup dalam denyut nadi kebudayaan masa kini.