Aksara Lontara, yang seringkali dikaitkan erat dengan suku Bugis di Sulawesi Selatan, adalah salah satu warisan intelektual dan budaya yang sangat berharga di Nusantara. Meskipun namanya merujuk pada media tulisnya (daun lontar), aksara ini merupakan sistem penulisan kuno yang memiliki sejarah panjang dan kompleks, mencerminkan kekayaan peradaban maritim dan kerajaan-kerajaan besar di wilayah tersebut.
(Representasi visual sederhana dari beberapa karakter Lontara)
Aksara Lontara termasuk dalam rumpun aksara Brahmi India, seperti halnya aksara Jawa, Sunda, dan Bali. Para ahli meyakini bahwa aksara ini mulai digunakan secara luas di Sulawesi Selatan sekitar abad ke-14 atau ke-15. Fungsi utamanya awalnya adalah sebagai media pencatatan sejarah kerajaan, silsilah raja (Patturiolo), hukum adat, serta naskah-naskah sastra dan pengetahuan lokal. Media favorit untuk penulisan adalah helai daun lontar yang kemudian diiris dengan pisau dan dihitamkan menggunakan jelaga atau tinta alami.
Meskipun sangat erat kaitannya dengan Bugis, aksara ini juga digunakan oleh masyarakat etnis terdekat seperti Makassar dan Toraja. Setiap etnis seringkali memiliki variasi atau adaptasi tersendiri terhadap karakter dasar aksara tersebut. Namun, seiring dengan masuknya Islam dan kemudian dominasi aksara Latin pada masa kolonial, penggunaan Lontara secara praktis mulai mengalami kemunduran signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu ciri khas paling menonjol dari Lontara adalah sifatnya yang bersifat aksaraga (abugida), di mana setiap huruf dasar mewakili satu konsonan yang diikuti oleh vokal bawaan 'a'. Untuk mengubah vokal bawaan tersebut menjadi 'i', 'u', 'e', atau 'o', digunakanlah tanda diakritik atau 'tanda vokal' yang diletakkan di atas atau di bawah konsonan utama.
Sistem penulisan ini sangat efisien untuk bahasa-bahasa lokal yang memiliki struktur vokal terbatas. Namun, Lontara memiliki tantangan tersendiri karena secara tradisional, penulisan dilakukan dari kiri ke kanan, tetapi tanpa adanya spasi antar kata. Pembaca harus memahami konteks kalimat dan pengetahuan bahasa untuk memisahkan satu kata dengan kata lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi menulis Lontara sangat bergantung pada transmisi lisan dan ingatan kolektif masyarakat setempat.
Sistem ini umumnya hanya mencakup konsonan, sedangkan untuk tanda baca atau pemisah kalimat, penggunaannya sangat minimalis atau bahkan tidak ada, yang menambah kompleksitas pembacaan bagi mereka yang belum terbiasa.
Meskipun popularitasnya menurun, naskah-naskah lontar yang tersisa hari ini menjadi harta karun tak ternilai bagi para sejarawan dan antropolog. Naskah-naskah ini berisi catatan mengenai genealogi bangsawan Luwu, Tallo, Gowa, Bone, dan kerajaan Bugis-Makassar lainnya. Selain itu, ditemukan pula lontar yang memuat ajaran moralitas, ramalan, ilmu pengetahuan tentang pelayaran, pertanian, dan hukum adat yang dikenal sebagai "Pangadareng" atau "Adat Sialla".
Upaya pelestarian aksara ini terus dilakukan oleh berbagai lembaga kebudayaan. Digitalisasi naskah lontar menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa warisan linguistik ini tidak hilang ditelan zaman. Pelajaran bahasa Lontara seringkali dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah di Sulawesi Selatan, berharap generasi muda dapat kembali memahami dan menghargai akar kebudayaan mereka.
Aksara Lontara bukan hanya sekadar alat tulis; ia adalah representasi identitas Bugis-Makassar. Bentuk-bentuk geometrisnya yang khas mencerminkan estetika seni lokal. Dalam konteks yang lebih luas, pemahaman terhadap Lontara membuka jendela untuk mengapresiasi bagaimana peradaban di pesisir Indonesia Timur membangun dan melestarikan pengetahuan mereka jauh sebelum pengaruh tulis-menulis modern menyebar luas. Melalui upaya konservasi yang berkelanjutan, diharapkan gema aksara kuno ini akan terus terdengar di tengah arus modernisasi.