Dalam jagat pewayangan Jawa, sosok Bagong dikenal luas sebagai punakawan yang humoris, cerdas, namun juga seringkali menjadi representasi rakyat jelata yang jujur dan lugas. Ia adalah anak bungsu Semar yang memiliki perilaku jenaka, seringkali menyisipkan kritik sosial di balik leluconnya. Namun, di balik citra lucunya, ada sebuah adegan dramatis yang jarang diceritakan dalam pertunjukan biasa: momen ketika Bagong ngamuk.
Kemarahan Bagong bukanlah sesuatu yang mudah tersulut. Berbeda dengan tokoh ksatria yang emosinya plin plan, kemarahan Bagong biasanya dipicu oleh pelanggaran moral yang sangat mendasar, penindasan terhadap kaum lemah, atau penghinaan terhadap gurunya, Semar. Ketika batas kesabaran sang Punakawan telah terlampaui, transformasinya dari pelawak menjadi petarung yang garang sangat mengejutkan para penonton.
Adegan Bagong ngamuk seringkali terjadi ketika tokoh antagonis, biasanya para raksasa atau raja angkara murka, melakukan kesewenang-wenangan di hadapan mata Bagong. Sebagai representasi kesadaran spiritual yang mendalam (walaupun dibalut humor), Bagong merasa terpanggil untuk membela kebenaran, bahkan jika ia harus melawan dewa atau tokoh sakti mandraguna. Ia akan meninggalkan tingkah lakunya yang centil dan menggantinya dengan energi spiritual yang murni.
Secara teknis dalam pertunjukan wayang kulit, adegan ini sangat dinanti karena menunjukkan perubahan drastis dalam gaya dalang. Ketika Bagong bersiap bertarung, musik gamelan akan berubah dari irama gembira (Ladrang/Gendhing Kembar) menjadi irama yang berat dan mencekam (seperti lagu-lagu Sabetan berbobot). Para penabuh gamelan harus mampu menangkap aura kemarahan yang dilepaskan oleh Bagong.
Dalam fase amuknya, Bagong tidak lagi menggunakan strategi humor untuk mengalihkan perhatian. Ia bertarung dengan kecerdasan fisik yang luar biasa. Meskipun bentuknya tidak seideal Gatotkaca atau Bima, gerakannya menjadi cepat, lincah, dan mematikan. Ia mampu menghindari serangan sambil melancarkan serangan balasan yang tepat sasaran. Kekuatan spiritual yang diwariskan dari Semar memungkinkan Bagong memiliki kesaktian yang setara, meskipun ia jarang menunjukkannya. Momen ini membuktikan bahwa humor hanyalah tameng bagi jiwa pejuang sejati.
Mengapa penulis cerita memilih Bagong sebagai representasi kemarahan yang dahsyat? Jawabannya terletak pada filosofi Jawa mengenai keseimbangan. Bagong adalah lambang 'Rasa' atau naluri dasar manusia. Ketika nilai-nilai luhur (yang diwakili oleh Arjuna atau Yudhistira) gagal menghentikan kejahatan, naluri dasar yang paling jujur—kemarahan murni—harus mengambil alih.
Melihat wayang kulit Bagong ngamuk memberikan pelajaran bahwa keberanian tidak hanya dimiliki oleh para pahlawan bertubuh besar atau berparas tampan. Keberanian sejati datang dari hati nurani yang tergerak oleh ketidakadilan. Kemarahan Bagong adalah reaksi yang murni, tidak didasari ambisi kekuasaan, melainkan demi tegaknya dharma. Ia menjadi simbol bahwa bahkan dalam wujud yang paling rendah hati dan penuh tawa, terdapat potensi kekuatan besar untuk membela kebenaran. Pertunjukan ini selalu sukses membuat penonton terkesiap, menyadari bahwa di balik lelucon, tersembunyi murka yang adil.