Dalam dunia seni pertunjukan wayang kulit Jawa, setiap tokoh memiliki karakter dan ekspresi yang khas. Salah satu ekspresi yang paling menarik dan mengundang tawa adalah ketika Bagong Nggleleng. Istilah "nggleleng" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang merujuk pada ekspresi tertawa terbahak-bahak, seringkali disertai dengan mata yang membelalak, mulut yang terbuka lebar, atau posisi kepala yang sedikit miring karena terlalu asyik tertawa.
Bagong, si bungsu dari Punakawan (sekelompok badut penasihat para satria), adalah personifikasi dari rakyat jelata. Ia lugu, jujur, namun juga sangat jenaka. Ketika Bagong berada dalam fase nggleleng, ini bukan sekadar tertawa biasa; ini adalah momen komedi puncak yang diciptakan oleh Sang Dalang untuk mencairkan suasana epik peperangan atau konflik moral yang sedang berlangsung. Gerakan wayangnya pada saat ini dibuat sangat dinamis, berbeda dari sikapnya yang biasanya cekatan.
Punakawan—terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—adalah jangkar realistis dalam kisah pewayangan yang seringkali bersifat filosofis dan spiritual. Mereka berbicara bahasa rakyat, mengkritik penguasa, dan mengingatkan tokoh protagonis akan nilai-nilai moral yang terlupakan. Bagong, dengan perawakan yang paling gempal dan tingkah yang paling blak-blakan, seringkali menjadi motor penggerak humor.
Ekspresi wayang kulit Bagong nggleleng menjadi metafora kuat. Di balik tawanya yang keras, seringkali tersimpan kritik sosial yang tajam. Dalang menggunakan momen ini untuk menyindir ketamakan para raja atau kebodohan para kesatria yang sedang beradu ego. Tawa Bagong menjadi pembenaran bahwa masalah hidup, betapapun beratnya, harus dihadapi dengan humor dan kesederhanaan. Keunikan detail ukiran pada kulit wayang yang mampu menangkap intensitas ekspresi "nggleleng" ini adalah puncak keterampilan seni pahat.
Untuk menciptakan efek "nggleleng" yang meyakinkan, Sang Dalang harus menguasai teknik penggambaran (cacah) dan pengolahan tatahan pada kulit wayang. Berbeda dengan wayang yang menggambarkan kesatria gagah dengan rahang kaku dan mata fokus, wayang Bagong untuk adegan ini memiliki beberapa ciri khusus. Mata dibuat seolah-olah menyipit atau membulat maksimal, mulut dibentuk sangat lebar hingga memperlihatkan deretan gigi (atau lidah), dan struktur leher serta bahu dibuat sedikit membungkuk atau bergoyang.
Gerakan tangan (cempurit) juga memainkan peran penting. Dalam posisi Bagong Nggleleng, tangan mungkin ditarik ke arah perut seolah menahan perut karena terlalu kuat tertawa, atau salah satu tangan diarahkan ke atas sebagai gestur keheranan yang menggelikan. Keseimbangan antara humor visual dan makna filosofis yang ingin disampaikan oleh Dalang inilah yang membuat karakter Bagong, khususnya dalam ekspresi "nggleleng", selalu dinanti-nantikan penonton di tengah alur cerita yang serius. Ia adalah jembatan antara dunia dewa (aluh) dan dunia manusia (bawah).
Keberadaan Bagong yang mampu beralih dari penasihat bijak menjadi badut jenaka yang tertawa terbahak-bahak mencerminkan kearifan lokal Jawa yang menghargai keseimbangan. Wayang kulit Bagong nggleleng bukan sekadar pertunjukan; ia adalah cermin masyarakat yang mengajarkan bahwa di tengah penderitaan atau kesombongan, selalu ada ruang untuk kegembiraan tulus dan refleksi diri melalui tawa. Seni ini terus hidup karena kemampuannya menyajikan isu universal melalui prisma budaya yang kaya dan ekspresif.