Tukad Badung, yang sering disebut Sungai Badung, adalah salah satu urat nadi kehidupan dan sejarah yang mengalir membelah jantung kota Denpasar, Bali. Jauh sebelum gemerlap pariwisata modern, sungai ini memegang peranan vital dalam kehidupan masyarakat lokal, mulai dari kebutuhan sanitasi, irigasi pertanian di wilayah hulu, hingga menjadi saksi bisu pergerakan sejarah kerajaan di masa lampau. Meskipun sempat mengalami degradasi akibat urbanisasi yang pesat, kini Tukad Badung tengah menjalani transformasi signifikan menjadi wajah baru Denpasar yang lebih hijau dan tertata.
Ilustrasi visualisasi tepi Sungai Badung yang mulai ditata.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Denpasar telah menggencarkan program revitalisasi besar-besaran terhadap bantaran Tukad Badung. Proyek ini bukan sekadar pembersihan sampah, namun merupakan upaya holistik untuk mengubah sungai yang sempat tercemar menjadi ruang publik yang bermanfaat dan estetis. Fokus utama revitalisasi adalah penataan dinding penahan (sheet pile), normalisasi aliran sungai, serta pembangunan jalur pedestrian dan area publik di sepanjang tepiannya. Kawasan seperti di sekitar area Pasar Badung hingga ke bagian utara kini mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Area yang dulu kumuh dan tertutup kini menjelma menjadi tempat favorit bagi warga lokal untuk bersantai sore hari, berolahraga ringan, atau sekadar menikmati suasana kota yang lebih teduh. Kehadiran jalur sepeda dan area duduk yang didesain modern memberikan sentuhan baru pada lanskap perkotaan Bali yang identik dengan pantai dan sawah. Ini adalah contoh nyata bagaimana warisan alam di tengah kota dapat diselamatkan dan diintegrasikan kembali ke dalam ritme kehidupan modern.
Secara historis, Tukad Badung memiliki kaitan erat dengan perkembangan Kerajaan Badung. Sungai ini menjadi sumber air utama bagi masyarakat di masa lalu. Arus airnya juga sering digunakan sebagai batas alami atau jalur transportasi sederhana. Keberadaan sungai ini turut membentuk pola pemukiman awal di Denpasar. Dalam konteks budaya, air sungai masih dianggap memiliki nilai kesucian, meskipun penggunaannya untuk ritual keagamaan kini mungkin terbatas dibandingkan dengan sungai-sungai besar lainnya di Bali.
Meskipun revitalisasi fisik telah banyak dilakukan, tantangan terbesar bagi Tukad Badung tetap terletak pada aspek keberlanjutan lingkungan dan kesadaran masyarakat. Sungai ini masih rentan terhadap pencemaran dari limbah rumah tangga dan sampah yang dibuang sembarangan. Upaya edukasi publik menjadi kunci agar masyarakat menyadari bahwa sungai bukan hanya tempat pembuangan, melainkan ekosistem yang harus dijaga bersama. Kolaborasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan akademisi sangat diperlukan untuk memastikan air yang mengalir tetap sehat dan kawasan tepiannya terpelihara dengan baik.
Keberhasilan Tukad Badung dalam bertransformasi menjadi ikon kota yang bersih dan hijau akan sangat menentukan kualitas hidup warga Denpasar di masa depan. Ini adalah bukti bahwa upaya konservasi urban di tengah kepadatan kota dapat berhasil jika didukung oleh visi yang jelas dan komitmen jangka panjang. Kawasan ini kini berfungsi ganda: sebagai paru-paru kota sekaligus ruang interaksi sosial yang vital.
Lokasinya yang strategis di pusat kota membuat akses ke tepi Tukad Badung sangat mudah dijangkau. Dekat dengan pusat perbelanjaan tradisional seperti Pasar Badung dan kawasan bisnis, sungai ini menawarkan jeda visual yang sangat dibutuhkan dari hiruk pikuk aktivitas perkotaan. Meskipun saat ini lebih berfokus pada fungsi rekreasi lokal, potensi Tukad Badung untuk dikembangkan menjadi koridor wisata edukatif yang menceritakan sejarah Denpasar juga sangat besar. Pengunjung dapat belajar tentang sejarah tata kota Bali sambil menikmati pemandangan sungai yang kini jauh lebih asri.