Visualisasi konsep penjualan bahan bakar eceran.
Isu mengenai distribusi dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, khususnya Pertalite eceran, selalu menjadi topik hangat di masyarakat Indonesia. Meskipun pemerintah telah menetapkan skema distribusi resmi melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), kenyataannya di lapangan, transaksi jual beli dalam skala kecil atau eceran tetap marak terjadi, terutama di daerah-daerah yang aksesibilitas SPBU-nya terbatas. Fenomena ini menciptakan sebuah ekosistem ekonomi mikro tersendiri yang memiliki implikasi signifikan terhadap subsidi energi nasional.
Ketersediaan Pertalite eceran biasanya menjamur di warung-warung kecil, pinggir jalan, atau pedagang asongan yang menggunakan jeriken sebagai wadah penampung. Mereka membeli BBM dalam jumlah besar dari sumber yang tidak sepenuhnya jelas—bisa jadi dari hasil penyelewengan distribusi resmi, atau dibeli di SPBU dengan asumsi konsumen yang tidak membawa kendaraan. Harga jualnya tentu saja jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah untuk tingkat konsumen akhir di SPBU.
Minat terhadap Pertalite eceran didorong oleh beberapa faktor utama. Pertama adalah faktor geografis. Di wilayah pedalaman, kepulauan, atau daerah terpencil, jarak menuju SPBU bisa mencapai puluhan kilometer. Bagi masyarakat yang sangat bergantung pada kendaraan bermotor untuk mobilitas sehari-hari, opsi membeli BBM dalam galon atau botol dari pedagang lokal menjadi solusi darurat yang praktis, meskipun harus dibayar dengan harga premium.
Kedua, kemudahan transaksi menjadi daya tarik. Masyarakat tidak perlu mengantre panjang atau memenuhi persyaratan administrasi tertentu yang terkadang diberlakukan saat pembelian menggunakan QR code atau sistem digital di SPBU. Kemudahan ini sering kali mengalahkan pertimbangan harga yang lebih tinggi. Ketiga, adanya oknum yang memanfaatkan celah distribusi. Beberapa pihak diduga memanfaatkan program subsidi dengan membeli BBM dalam jumlah besar (yang seharusnya tidak diperbolehkan bagi kendaraan non-transportasi publik atau non-usaha resmi) kemudian menjualnya kembali secara eceran untuk mencari keuntungan.
Pemerintah melalui badan pengatur energi dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara berkala mengimbau masyarakat untuk membeli BBM sesuai peruntukan. Penjualan Pertalite eceran yang tidak resmi sering kali dikategorikan sebagai penyalahgunaan distribusi BBM bersubsidi. Meskipun pengawasan dilakukan, skala geografis Indonesia yang luas menyulitkan penindakan secara menyeluruh.
Dampak dari maraknya praktik eceran ini sangat terasa pada kuota subsidi. Ketika BBM subsidi bocor dan dijual kembali dengan harga tinggi, hal ini secara tidak langsung mengurangi ketersediaan BBM bersubsidi bagi target utama penerima manfaat. Pemerintah terus berupaya menyempurnakan sistem pencatatan konsumen untuk membatasi volume pembelian, namun para penjual eceran seringkali menemukan cara-cara kreatif untuk mengakali sistem tersebut, misalnya dengan berganti kendaraan atau memanfaatkan data orang lain.
Selain isu subsidi, konsumen yang membeli Pertalite eceran dari sumber yang tidak jelas juga berisiko terhadap kualitas bahan bakar. Wadah yang digunakan (botol plastik bekas atau jeriken) dapat menyebabkan kontaminasi. Air, debu, atau kotoran lain lebih mudah masuk ke dalam wadah tersebut dibandingkan saat pengisian langsung dari nozzle SPBU yang terstandarisasi. Penggunaan BBM berkualitas rendah ini tentu saja berpotensi merusak komponen mesin kendaraan dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, meskipun kebutuhan mendesak seringkali memaksa masyarakat untuk mencari alternatif, himbauan untuk selalu memprioritaskan pembelian di SPBU resmi tetap menjadi langkah terbaik demi menjaga kualitas kendaraan dan mendukung ketepatan alokasi subsidi energi nasional. Memahami regulasi dan mencari informasi mengenai SPBU terdekat saat bepergian adalah kunci untuk menghindari ketergantungan pada pasar Pertalite eceran yang tidak terjamin.