Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda merupakan dua bahasa daerah utama di Indonesia yang memiliki akar rumpun bahasa yang sama, yaitu rumpun Austronesia. Meskipun demikian, keduanya memiliki perbedaan signifikan dalam kosakata, tata bahasa, dan terutama tingkat kehalusan (seperti dalam konteks kromo Jawa dan tingkatan bahasa Sunda). Proses terjemahan bahasa Jawa ke Sunda seringkali menjadi tantangan sekaligus menarik karena memerlukan pemahaman konteks budaya yang mendalam, bukan sekadar padanan kata harfiah.
Bagi penutur asli kedua bahasa ini, perbedaan tersebut dapat langsung dikenali. Namun, bagi mereka yang mempelajari salah satunya atau perlu melakukan komunikasi antarbudaya, pemetaan kosakata dan struktur kalimat menjadi krusial. Kesalahan dalam penerjemahan dapat mengakibatkan hilangnya makna atau bahkan menimbulkan kesan kurang sopan, mengingat pentingnya tingkatan tutur (unggah-ungguh) dalam kedua kebudayaan.
Visualisasi Proses Terjemahan Antar Bahasa Daerah
Salah satu hambatan terbesar adalah variasi tingkatan bahasa. Bahasa Jawa memiliki tingkatan yang sangat jelas: Ngoko (kasar/akrab), Krama Madya, dan Krama Inggil (sangat halus/hormat). Bahasa Sunda juga membedakan bahasa loma (akrab) dan bahasa lemes (halus). Ketika menerjemahkan, penerjemah harus menentukan konteks sosial pembicara dan lawan bicara. Misalnya, menerjemahkan 'saya' dalam Jawa Krama Inggil ('dalem') ke Sunda harus menghasilkan padanan yang sepadan tingkat kesopanannya ('simkuring' atau 'abdi'), bukan padanan yang lebih kasar.
Kosakata spesifik budaya juga menjadi poin penting. Kata benda, nama makanan, nama adat, atau istilah geografis mungkin tidak memiliki padanan langsung. Di sinilah peran kamus dwibahasa yang dikompilasi dengan baik menjadi tak tergantikan. Jika padanan tidak ada, seringkali kata tersebut dipertahankan (loanword) atau dijelaskan secara kontekstual.
Jawa (Ngoko): "Wis arep mangan durung?" (Sudah mau makan belum?)
Sunda (Loma): "Aya geus rék dahar acan?"
Jawa (Krama): "Nuwun sewu, kula badhe nyuwun tulung." (Permisi, saya ingin minta tolong.)
Sunda (Lemes): "Punten, abdi bade nyuhunkeun tulung."
Selain itu, perbedaan fonetik dan morfologi juga memengaruhi kelancaran terjemahan. Meskipun banyak kesamaan akar kata, pengucapan dan penambahan imbuhan bisa sangat berbeda. Penggunaan vokal 'a' dan 'o' yang berbeda antara dialek Jawa tertentu dengan Sunda juga terlihat jelas dalam transkripsi lisan. Oleh karena itu, penerjemah yang sukses dalam terjemahan bahasa Jawa ke Sunda biasanya adalah individu yang memiliki literasi tinggi pada kedua bahasa tersebut atau setidaknya memahami struktur dan filosofi bahasa daerah tersebut.
Di era digital, permintaan untuk alat bantu terjemahan otomatis semakin meningkat. Meskipun alat-alat berbasis kecerdasan buatan (AI) telah berkembang pesat untuk bahasa mayoritas dunia, terjemahan antar bahasa daerah seperti Jawa ke Sunda masih menghadapi keterbatasan data pelatihan. Kamus digital dan aplikasi penerjemah yang ada umumnya mengandalkan korpus yang relatif kecil atau padanan kata langsung, yang sering gagal menangkap nuansa hormat atau konteks budaya yang melekat pada bahasa Jawa Krama atau Sunda Lemes.
Meskipun demikian, teknologi membantu dalam menyediakan referensi cepat. Para peneliti dan pemerhati bahasa daerah terus berupaya membangun basis data yang lebih besar untuk meningkatkan akurasi mesin penerjemah. Saat ini, untuk hasil yang paling akurat, intervensi manusia (penerjemah profesional) tetap menjadi standar emas, terutama untuk dokumen resmi, sastra, atau dialog penting yang menuntut kesesuaian unggah-ungguh.