Ayat ke-10 dari Surat At-Taubah (Surat ke-9) merupakan bagian integral dari rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan tentang perjanjian dan perilaku kaum musyrikin, khususnya setelah penaklukan Makkah dan berakhirnya beberapa perjanjian damai sebelumnya. Surah At-Taubah sering disebut juga sebagai Al-Bara’ah (Pelepasan Diri), karena memuat pernyataan tegas mengenai pembatalan perjanjian yang telah dilanggar oleh pihak-pihak tertentu.
Ayat ini secara spesifik menyoroti sifat dari sekelompok orang yang dikategorikan sebagai pelanggar perjanjian dan penyebar permusuhan. Kata kuncinya adalah "lā yarqubūna" (mereka tidak memelihara) dan "zimmah" (perjanjian atau ikatan). Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras dan penegasan prinsip dalam Islam: komitmen terhadap janji dan hubungan kemanusiaan (bahkan dengan non-Muslim) adalah fundamental, dan melanggarnya adalah perbuatan melampaui batas (i'tida).
Pesan inti dari Surat At-Taubah ayat 10 sangat jelas mengenai etika hubungan antarmanusia dan kepatuhan terhadap janji. Ada dua poin utama yang ditekankan oleh Allah SWT melalui ayat ini:
Kesimpulan tegas diberikan pada bagian akhir ayat: "Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (al-mu'tadūn)." Ini menunjukkan bahwa pengkhianatan terhadap janji dan pengabaian nilai kekerabatan bukanlah sekadar kesalahan kecil, melainkan sebuah bentuk kezaliman dan pelanggaran batas-batas yang ditetapkan Allah. Tindakan melampaui batas ini menghilangkan landasan kepercayaan sosial dan moral.
Meskipun diturunkan dalam konteks sejarah peperangan, relevansi Surat At-Taubah ayat 10 sangat relevan hingga kini. Ayat ini mengajarkan bahwa integritas adalah fondasi dari moralitas seorang Muslim. Dalam dunia modern yang penuh dengan kontrak bisnis, perjanjian internasional, dan interaksi lintas budaya, menjaga "zimmah" (komitmen) adalah praktik keimanan yang nyata.
Seorang Muslim harus dikenal sebagai pribadi yang dapat dipercaya. Jika seseorang membuat janji, sekecil apapun, ia terikat untuk menepatinya. Mengabaikan kewajiban kontraktual atau melanggar sumpah demi keuntungan sesaat adalah perilaku yang dicela oleh ayat ini. Ayat ini menegaskan bahwa kehormatan seorang mukmin terletak pada konsistensi antara kata-kata dan tindakannya, serta komitmennya terhadap keadilan, bahkan saat berhadapan dengan pihak yang memusuhi. Kepercayaan adalah mata uang sosial yang dijaga oleh ketetapan ilahi.
Oleh karena itu, memahami Surat At-Taubah ayat 10 berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa kesalehan bukan hanya ritual ibadah vertikal kepada Tuhan, tetapi juga tercermin dalam kualitas hubungan horizontal kita dengan sesama manusia, yaitu dengan menepati segala bentuk ikatan dan perjanjian yang telah kita buat.