Ilustrasi Cahaya Petunjuk di Jalan

Memahami Surat At-Taubah Ayat 98: Tipe Manusia dan Konsekuensinya

Waminannasi mayyattakhidzu maa yunfiquu maghraman wayatarabbasu bikumud dularah 'alaihi daa'iratussuu'. 'alaihim daa'iratussuu' wallahu sami'un 'aliim.

Teks dan Terjemahan Ayat

Teks Arab: Waminannasi mayyattakhidzu maa yunfiquu maghraman wayatarabbasu bikumud dularah 'alaihi daa'iratussuu'. 'alaihim daa'iratussuu' wallahu sami'un 'aliim.

Terjemahan: Dan di antara manusia ada orang yang mengatakan: "Sesungguhnya aku menginfakkan hartaku karena mencari keridhaan Allah semata-mata, padahal ia menyembunyikan kesengsaraan (kerugian) pada dirinya sendiri. Dan (orang itu) menanti-nanti bencana atas kamu. Merekalah yang akan ditimpa kerugian. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Penjelasan Kontekstual

Surat At-Taubah, atau Surat Bara’ah, adalah surat Madaniyah terakhir yang diturunkan. Ayat 98 ini secara spesifik membahas tipe manusia tertentu yang keberadaannya sangat kontras dengan tipe mukmin sejati yang digambarkan pada ayat-ayat sebelumnya (misalnya ayat 97 tentang orang Badui yang kufur dan munafik).

Ayat ini menyoroti sebuah kelompok—yang sering diidentifikasi para mufassir sebagai tipe munafik atau orang yang lemah imannya—yang melakukan amal kedermawanan (infak) namun bukan didasari keikhlasan. Mereka berpura-pura menyumbangkan harta mereka dengan tujuan mendapatkan pujian atau pengakuan dari orang lain, sementara di hati mereka penuh keraguan dan kesengsaraan.

Inti permasalahan yang diangkat Al-Qur’an dalam ayat ini adalah motivasi di balik perbuatan baik. Infak yang dilakukan oleh orang ini dikategorikan sebagai 'maghraman' (beban atau kerugian) bagi dirinya sendiri di sisi Allah, meskipun secara lahiriah ia terlihat dermawan.

Dua Karakteristik Utama Tipe Manusia dalam Ayat 98

Ayat ini mendeskripsikan dua ciri utama yang membuat infak mereka sia-sia dan justru menjadi bumerang:

1. Klaim Palsu dan Motivasi Tersembunyi

Mereka mendakwa bahwa infak mereka adalah untuk mencari keridhaan Allah (yunfiquu... li-ibtighaa' mardhatillah), namun kenyataannya hati mereka menginginkan pujian manusia. Ayat ini mengungkap niat tersembunyi tersebut. Dalam Islam, amal tanpa niat yang benar akan terputus pahalanya. Mereka menyamarkan sifat munafik atau kepentingan duniawi mereka di balik jubah kedermawanan.

2. Menanti Bencana atas Orang Beriman

Ciri kedua yang sangat berbahaya adalah wayatarabbasu bikumud dularah—mereka menanti-nanti agar terjadi bencana, kerugian, atau kekalahan pada orang-orang yang beriman dan tulus. Ini menunjukkan adanya kebencian internal dan harapan agar perjuangan kebenaran gagal. Kegembiraan mereka terletak pada penderitaan orang lain.

Konsekuensi yang Ditetapkan Allah

Allah memberikan vonis yang tegas bagi tipe manusia ini: 'alaihim daa'iratussuu' (Bencana atas mereka). Bencana di sini dapat diartikan dalam beberapa tingkatan:

  1. **Kerugian Duniawi:** Jika kaum Muslimin tertimpa musibah, kegembiraan mereka akan segera berubah menjadi kesedihan yang mendalam karena kesenangan mereka bergantung pada kesengsaraan orang lain.
  2. **Kerugian Akhirat:** Infak yang mereka lakukan akan menjadi beban, bukan pahala, karena niatnya tercemar. Mereka kehilangan pahala dunia dan akhirat.
  3. **Bencana Sosial:** Kebencian dan iri hati yang mereka simpan dalam hati adalah penyakit spiritual yang menghancurkan kedamaian batin mereka sendiri.

Penutup ayat, Wallahu Sami'un 'Aliim (Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), berfungsi sebagai peringatan keras. Allah mendengar ucapan klaim mereka dan mengetahui niat busuk yang mereka sembunyikan. Tidak ada satupun perbuatan, baik yang tampak maupun tersembunyi, yang luput dari pengawasan-Nya.

Pelajaran Keikhlasan dalam Berinfak

Ayat 98 Surat At-Taubah menjadi koreksi fundamental bagi umat Islam mengenai standar ibadah. Keikhlasan (niat murni karena Allah) adalah pondasi utama yang membedakan antara amal yang membawa pahala abadi dan amal yang hanya menjadi kesia-siaan duniawi, bahkan bisa berujung pada kerugian.

Infak yang benar, sebagaimana diajarkan dalam banyak ayat lain, adalah yang dilakukan dengan ketenangan hati, tanpa mengharapkan pujian, dan tanpa mengharapkan kerugian orang lain. Ayat ini mengajarkan kita untuk senantiasa mengaudit niat kita sendiri saat beramal shalih, karena Allah tidak melihat pada bentuk luar amal, melainkan pada apa yang ada di dalam hati.

Memahami ayat ini mengajak kita untuk menjauhi sifat iri hati dan kecenderungan mengharapkan kejatuhan orang lain, karena hal tersebut adalah tanda kesalehan yang rapuh dan potensi kemunafikan yang harus segera dibersihkan dari dalam jiwa.