Dalam lembaran Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang menjadi mercusuar petunjuk bagi umat manusia. Salah satu ayat yang memiliki kedalaman makna luar biasa mengenai pengorbanan dan keikhlasan adalah Surat At-Taubah ayat 99. Ayat ini berbicara tentang sekelompok Badui Arab yang mengucapkan keislaman mereka, namun keimanan mereka belum sepenuhnya meresap ke dalam hati, berbeda dengan kaum Muhajirin dan Anshar yang tulus berjuang di jalan Allah.
Ayat ini menyoroti perbedaan fundamental antara pengakuan lisan dan pembuktian melalui perbuatan, khususnya dalam konteks pengorbanan harta benda di jalan dakwah dan jihad. Allah SWT membagi manusia dalam pengujian keimanan mereka, khususnya setelah periode penaklukkan dan konsolidasi Islam.
Allah SWT membagi orang-orang Arab Badui yang menyatakan beriman menjadi beberapa kategori. Ayat 99 secara spesifik membahas mereka yang imannya masih bercampur dengan sifat duniawi. Kata kunci di sini adalah "menganggap apa yang dinafkahkan itu sebagai kerugian (مَغْرَمًا)". Bagi mereka, infak atau sedekah yang dikeluarkan bukan dilihat sebagai investasi akhirat atau bagian dari ibadah, melainkan sebagai beban finansial yang memberatkan.
Sikap ini menunjukkan adanya keterikatan kuat pada materi. Mereka belum sepenuhnya memahami konsep bahwa rezeki yang dikeluarkan di jalan Allah akan diganti dengan pahala yang berlipat ganda. Kontras dengan mereka yang ikhlas (seperti yang disebutkan di ayat sebelumnya dan setelahnya), perbedaan terletak pada niat di balik pengeluaran harta.
Lebih lanjut, ayat ini mengungkap sifat berbahaya kedua dari kelompok ini: mereka adalah kaum yang "menunggu-nunggu (keburukan) menimpa kamu". Ini adalah ciri khas kemunafikan yang tersembunyi. Di permukaan mereka mungkin terlihat sebagai bagian dari barisan Muslim, namun di hati mereka, mereka mengharapkan kegagalan komunitas Muslim, khususnya dalam peperangan atau kesulitan dakwah.
Allah memberikan janji kepastian atas takdir kelompok yang memiliki niat buruk ini: "Mudah-mudahan bencana itu akan menimpa mereka. Mereka (orang-orang munafik) akan ditimpa bencana yang buruk." Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras. Dalam Islam, niat yang busuk terhadap sesama Muslim dan terhadap perjuangan agama akan berbalik menimpa pelakunya sendiri.
Ini bukan sekadar kutukan, melainkan sebuah hukum alam spiritual dan sosial. Kerusakan yang mereka harapkan menimpa orang lain, pada akhirnya akan kembali menghancurkan fondasi diri mereka sendiri, baik di dunia (karena hilangnya kepercayaan dan dukungan) maupun di akhirat. Penutup ayat dengan sifat Allah, "Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," menegaskan bahwa tidak ada satu pun niat tersembunyi atau bisikan hati yang luput dari pengawasan-Nya.
Meskipun ayat ini turun dalam konteks historis tertentu, relevansinya sangat kuat hari ini. Surat At-Taubah ayat 99 mengingatkan kita bahwa keimanan sejati harus diukur dari kualitas pengorbanan dan ketulusan niat, bukan sekadar formalitas keanggotaan.
Dalam konteks sosial dan kontribusi amal, kita harus memastikan bahwa setiap sedekah atau bantuan yang kita berikan bukan didasari oleh perhitungan untung-rugi duniawi. Jika kita merasa terbebani oleh kewajiban memberi, mungkin niat kita perlu dievaluasi kembali. Keikhlasan adalah kunci yang membedakan antara "infak yang berkah" dengan "beban yang dicela."
Selain itu, kita diajarkan untuk waspada terhadap sikap apatis atau bahkan kebencian terselubung terhadap kemajuan komunitas atau keberhasilan sesama Muslim. Sifat menunggu kehancuran orang lain adalah bibit-bibit kemunafikan yang harus dibersihkan dari hati. Allah SWT menjanjikan keridhaan dan ketenangan bagi mereka yang mengutamakan kepentingan agama di atas materi dan kepentingan diri sendiri, sebagaimana janji-Nya kepada kaum Muhajirin dan Anshar yang tulus. Ayat ini adalah pengingat abadi bahwa ketulusan hati jauh lebih berharga di hadapan Allah daripada sekadar label keislaman di KTP.