Surat At-Taubah, atau Surat Bara’ah, adalah surat Madaniyah terakhir dalam Al-Qur'an yang sarat dengan perintah dan peringatan mengenai peperangan, perjanjian, dan pemurnian keyakinan. Di tengah pembahasan mengenai kaum munafik dan keadaan peperangan, Allah SWT menurunkan ayat ke-87 yang memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas seorang mukmin sejati.
Ayat ini secara spesifik menyoroti sekelompok orang yang mencari izin untuk tidak ikut berjihad (berperang) di jalan Allah, sebuah indikasi lemahnya iman dan kecintaan mereka pada kehidupan duniawi dibandingkan akhirat.
Ayat ini mengungkap dialog internal dan sikap mental kaum munafik pada masa Rasulullah SAW, khususnya saat akan berangkat dalam ekspedisi besar seperti Perang Tabuk. Mereka lebih memilih diam dan tetap tinggal bersama wanita dan orang-orang uzur lainnya—yang dalam bahasa Arab disebut al-khawālif—daripada menghadapi kesulitan di medan perang.
*Visualisasi kontras antara kondisi hati yang puas dengan ketertinggalan (kiri) dan hati yang terkunci (tengah) dibandingkan dengan pilihan untuk bergerak maju (kanan).
Ayat 87 dari Surah At-Taubah ini mengandung tiga elemen utama yang harus diperhatikan oleh setiap muslim, terutama dalam konteks pengabdian kepada Allah SWT:
Pesan inti dari ayat ini adalah peringatan keras. Keengganan untuk berkorban (fisik, harta, atau waktu) demi ketaatan akan menyebabkan hati menjadi tumpul dan akhirnya kehilangan kemampuan untuk menerima hikmah sejati dari ajaran Islam.
Meskipun konteks historisnya adalah peperangan fisik, pelajaran At-Taubah ayat 87 tetap relevan hingga kini. Tantangan umat Islam kini seringkali bukan lagi peperangan fisik, melainkan 'peperangan' melawan arus modernisasi yang menuntut pengorbanan waktu, energi, dan fokus.
Banyak umat Muslim hari ini yang lebih memilih 'tinggal' dalam kesibukan duniawi yang tidak produktif—hiburan berlebihan, pekerjaan yang hanya mengejar materi tanpa nilai akhirat—daripada berjuang dalam jihad intelektual (menuntut ilmu yang bermanfaat), jihad sosial (memberikan kontribusi nyata pada masyarakat), atau jihad spiritual (menjaga konsistensi ibadah).
Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu memeriksa prioritas hati. Apakah kita cenderung memilih zona nyaman yang menjauhkan kita dari ketaatan besar, ataukah kita berani keluar dari zona nyaman demi meraih keridhaan Allah? Pilihan untuk diam dan tidak bergerak dalam kebaikan adalah cikal bakal terkuncinya hati yang disebutkan dalam ayat ini.