Surat At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara'ah, adalah salah satu surat Madaniyah yang mengandung banyak pelajaran penting mengenai peperangan, perjanjian, dan sikap seorang mukmin terhadap harta benda duniawi. Salah satu ayat yang sering menjadi perenungan mendalam adalah ayat ke-85.
وَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
"Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki untuk menyiksa mereka dengan harta dan anak-anak itu di dunia, dan agar (nyawa) mereka melayang dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah: 85)
Konteks dan Latar Belakang Ayat
Ayat 85 Surah At-Taubah turun dalam konteks peperangan dan hubungan antara kaum Muslimin dengan kaum musyrikin, khususnya mengenai sikap hati. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi Nabi Muhammad SAW dan umatnya agar tidak terpedaya oleh kemewahan duniawi yang dimiliki oleh orang-orang yang menentang kebenaran.
Pada masa itu, terdapat golongan munafik atau orang-orang kafir yang meskipun tampak memiliki harta melimpah, keluarga besar, dan pengaruh, namun hati mereka jauh dari iman sejati. Ayat ini menegaskan bahwa penampilan luar—kekayaan dan banyaknya keturunan—bukanlah tolok ukur keberkahan atau keridhaan Allah.
Larangan Kagum Terhadap Harta dan Keturunan
Bagian pertama ayat, "وَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ" (Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuatmu kagum), adalah teguran sekaligus arahan spiritual. Kekaguman terhadap hal-hal duniawi sering kali melemahkan semangat untuk berjihad di jalan Allah atau membuat seseorang cenderung berkompromi dengan prinsip kebenaran demi menjaga kenyamanan materi.
Dalam pandangan Islam, nilai sejati seorang manusia terletak pada ketakwaannya, bukan pada jumlah asetnya. Harta dan anak-anak hanya menjadi ujian (fitnah). Jika digunakan untuk kemaksiatan atau menjadi penghalang dari ketaatan, maka ia justru menjadi alat untuk menjerumuskan pemiliknya.
Pesan Azab yang Tersirat
Pernyataan kunci dalam ayat ini adalah penegasan tentang tujuan di balik pemberian duniawi tersebut: "إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا" (Sesungguhnya Allah menghendaki untuk menyiksa mereka dengan harta dan anak-anak itu di dunia). Ini bukan berarti semua kekayaan adalah azab, melainkan kekayaan yang diperoleh dengan cara yang salah atau yang membuat lalai dari Allah dapat menjadi bentuk siksaan yang halus.
Siksaan di dunia bisa berupa rasa takut kehilangan, keserakahan yang tak terpuaskan, atau perselisihan dalam keluarga meskipun jumlahnya banyak. Puncaknya adalah kematian dalam keadaan kafir. Ayat ini menunjukkan bahwa kesenangan duniawi yang dicintai oleh orang-orang yang ingkar pada hakikatnya hanyalah penundaan siksa yang lebih besar, yaitu matinya jiwa dalam kekafiran.
Kontras dengan Kehidupan Mukmin
Bagi seorang mukmin, ayat ini menjadi pengingat agar fokus utama tetap pada bekal akhirat. Jika seorang mukmin diuji dengan kemiskinan, itu adalah sarana untuk membersihkan dosa dan meninggikan derajat. Sebaliknya, jika orang kafir diberi kelimpahan, itu adalah sarana untuk menguji sejauh mana mereka akan terus menolak petunjuk Allah.
Oleh karena itu, mukmin sejati dituntut untuk selalu bersyukur atas sedikit rezeki yang penuh berkah daripada iri pada limpahan harta yang menjauhkan pemiliknya dari Allah. Pemahaman mendalam terhadap At-Taubah 85 memurnikan motivasi seorang Muslim dalam menjalani hidup, menjadikannya anti-materialistis dalam arti negatif, dan selalu mengutamakan keridhaan Ilahi di atas segala kemilau dunia.