Tafsir Surat At-Taubah Ayat 75-77

Ilustrasi Keteguhan Iman dan Janji Allah QS. 9

Surat At-Taubah, surat ke-9 dalam Al-Qur'an, memuat banyak sekali pelajaran penting mengenai akidah, iman, dan sikap seorang Muslim terhadap janji dan pengkhianatan. Salah satu bagian yang sarat hikmah adalah ayat 75 hingga 77, yang berbicara tentang sekelompok orang yang mengaku beriman namun memiliki keraguan dan kemunafikan tersembunyi.

Konteks Ayat 75-77 At-Taubah

Ayat-ayat ini turun untuk menjelaskan kondisi hati sebagian orang yang ikut berperang di Perang Tabuk, namun niat mereka tidak sepenuhnya ikhlas karena iman mereka belum kokoh. Ayat ini menyingkapkan kontras antara klaim lisan dan isi hati mereka, serta konsekuensi dari sikap setengah-setengah dalam ketaatan kepada Allah SWT.

وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ ٱللَّهَ لَئِنْ ءَاتَىٰنَا مِن فَضْلِهِۦ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ

Wa minhum man ‘āhadallāha la’in ātānā min faḍlihī lanassaddaqanna wa lanakūnan na minassālihin.

Dan di antara mereka ada orang yang membuat perjanjian dengan Allah (seraya berkata): "Sungguh jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh." (QS. At-Taubah: 75)

Ayat 75 menggambarkan tipikal orang yang berjanji kepada Allah, seringkali dalam konteks kesulitan atau ketika mengharapkan keuntungan duniawi. Janji mereka sangat muluk: jika diberi rezeki melimpah (karunia), mereka bersumpah akan bersedekah dan menjadi orang saleh. Ini adalah janji yang indah di permukaan, namun inti permasalahannya terletak pada motif di baliknya. Mereka mengukur kedekatan dengan Allah berdasarkan keuntungan materi yang mereka terima.

فَلَمَّا ءَاتَىٰهُم مِّن فَضْلِهِۦ بَخِلُوا۟ بِهِۦ وَتَوَلَّوا۟ وَّهُم مُّعْرِضُونَ

Falammā ātāhum min faḍlihī bakhilū bihī wa tawallaw wa hum mu’riḍūn.

Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir (bakhil) terhadap karunia tersebut, dan mereka berpaling (mengingkari janji) dan berpaling (dari ketaatan).

Konsekuensi Janji yang Diingkari (Ayat 76)

Ayat selanjutnya (76) adalah konsekuensi langsung dari janji di ayat 75. Ketika Allah menguji mereka dengan memberikan apa yang mereka minta—yaitu rezeki atau kekayaan—sikap mereka berubah drastis. Mereka menjadi bakhil (kikir) terhadap karunia tersebut. Bukannya menunaikan janji sedekah dan kesalehan, mereka justru menarik diri dan berpaling.

Sifat kikir ini menunjukkan bahwa pujian dan janji mereka sebelumnya hanyalah topeng. Iman mereka tidak teruji oleh kemudahan. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa ujian iman yang sebenarnya bukan hanya saat menghadapi kesulitan, tetapi juga saat menghadapi kelapangan dan keberhasilan. Jika hati didominasi oleh cinta dunia, maka karunia Allah akan menjadi penghalang, bukan jembatan menuju ketaatan.

فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِى قُلُوبِهِمْ إِلَىٰ يَوْمِ يَلْقَوْنَهُۥ بِمَآ أَخْلَفُوا۟ ٱللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا۟ يَكْذِبُونَ

Fa’aqabahum nifāqan fī qulūbihim ilā yawmi yalqawnahū bimā akhlafallāha mā wa‘adūhu wa bimā kānū yakzibūn.

Maka Allah memberikan balasan berupa kemunafikan di dalam hati mereka sampai hari mereka menemui-Nya, disebabkan mereka telah mengingkari janji yang mereka buat kepada Allah dan karena mereka selalu berdusta.

Hukuman Abadi: Kemunafikan (Ayat 77)

Ayat 77 merupakan penutup yang sangat tegas. Karena mereka mengingkari janji yang mereka buat kepada Allah dan karena kebohongan mereka (yang ditunjukkan melalui ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan), Allah memberikan hukuman yang paling berat: kemunafikan yang tertanam dalam hati mereka.

Imam Ibnu Katsir menafsirkan bahwa kemunafikan ini akan kekal di hati mereka hingga hari mereka bertemu dengan Allah (hari Kiamat). Ini adalah hukuman yang lebih serius daripada sekadar kehilangan harta atau kegagalan duniawi. Seseorang yang imannya mudah berubah sesuai keuntungan duniawi akan terjerumus dalam nifaq (kemunafikan), yaitu kondisi menampakkan kebaikan namun menyembunyikan kekufuran atau keraguan.

Pelajaran penting dari rangkaian ayat ini adalah pentingnya ketulusan (ikhlas) dalam setiap ibadah dan janji kepada Allah. Janji kepada Allah harus didasarkan pada ketaatan murni, bukan sebagai transaksi jual-beli antara kesalehan dengan rezeki dunia. Ketika rezeki datang, seharusnya itu justru memperkuat komitmen, bukan melemahkannya. Ayat-ayat ini menjadi pengingat abadi agar kita selalu menjaga kejujuran hati dan menepati janji yang telah kita ucapkan di hadapan Yang Maha Melihat.