Membedah Hikmah di Balik Surat At-Taubah Ayat 67

| Pemisahan

Ilustrasi pemisahan prinsip dan batasan.

Surat At-Taubah (Surat Kesembilan) dalam Al-Qur'an dikenal sebagai salah satu surat Madaniyah yang sarat dengan pembahasan mengenai peperangan, perjanjian, dan pembedaan yang tegas antara kaum mukminin sejati dengan orang-orang yang hatinya terpecah belah. Di antara ayat-ayat krusial dalam surat ini, terdapat firman Allah SWT dalam **Surat At-Taubah ayat 67** yang memberikan pelajaran mendalam tentang bahaya kemunafikan dan pentingnya loyalitas yang murni kepada Allah dan Rasul-Nya.

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ ۚ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya: Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu sama lain mereka itu dari golongan yang sama; mereka menyuruh mengerjakan yang mungkar dan melarang mengerjakan yang ma'ruf dan mereka menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (meninggalkan mereka). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.

Karakteristik Inti Kaum Munafik

Ayat 67 Surah At-Taubah ini berfungsi sebagai diagnosis tajam mengenai sifat dan perilaku dasar kaum munafik. Allah SWT membuka ayat ini dengan penegasan bahwa kaum munafik, baik laki-laki maupun perempuan, hakikatnya adalah satu kesatuan yang memiliki pola pikir dan tindakan yang serupa. Ini menunjukkan bahwa kemunafikan bukanlah masalah jenis kelamin, melainkan masalah akidah dan integritas batin.

Tiga ciri utama yang disebutkan secara eksplisit dalam ayat ini menyoroti kerusakan moral mereka:

  1. Menyeru pada Kemungkaran (Yâmurûna bil Munkar): Mereka secara aktif menganjurkan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat, menyebarkan kerusakan sosial dan moral di tengah masyarakat Muslim.
  2. Mencegah dari Kebajikan (Wa Yanhawna 'anil Ma'ruf): Tidak hanya melakukan keburukan, mereka juga berusaha menghalangi orang lain untuk melakukan kebaikan, amal shaleh, dan ketaatan. Ini adalah strategi klasik untuk melemahkan fondasi moral komunitas.
  3. Kikir dan Pelit (Wa Yaqbidhûna Aydiyahum): Sikap kikir ini merujuk pada keengganan mereka untuk bersedekah, berinfak di jalan Allah, atau membelanjakan harta untuk kepentingan umat. Kekikiran ini berakar dari ketidakpercayaan mereka terhadap janji Allah SWT mengenai pahala infak.

Lupa Kepada Allah, Dilupakan Oleh-Nya

Puncak dari deskripsi ini terdapat pada kalimat penutup yang sangat menggigit: "Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka." Dalam konteks teologi Islam, "dilupakan oleh Allah" (fanasiahum) bukanlah berarti Allah kehilangan ingatan—karena Allah Maha Mengetahui segalanya—tetapi bermakna bahwa Allah mencabut pertolongan-Nya, menelantarkan mereka dari hidayah, dan membiarkan mereka terperosok dalam kesesatan mereka sendiri.

Ketika seseorang secara sadar memilih untuk mengabaikan perintah dan larangan Allah dalam kehidupan sehari-hari, konsekuensinya adalah Allah akan menarik rahmat dan bimbingan-Nya. Mereka akan sibuk dengan urusan duniawi dan tipu daya mereka sendiri, tanpa mendapatkan ketenangan hakiki yang hanya ditemukan dalam ketaatan.

Konsekuensi Akhir: Al-Fasiqûn

Ayat ini ditutup dengan penetapan status definitif mereka: "Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik." Kata 'fasik' secara harfiah berarti keluar dari ketaatan atau melanggar batas. Status fasik ini lebih berat daripada sekadar melakukan dosa, karena fasik yang di maksud di sini adalah mereka yang secara sengaja berada dalam barisan lawan iman sambil berpura-pura menjadi bagian dari barisan mukminin.

Penting bagi umat Islam untuk mempelajari Surat At-Taubah ayat 67 ini bukan hanya untuk mengidentifikasi musuh eksternal, tetapi yang lebih utama, untuk melakukan otokritik internal. Memastikan bahwa diri kita tidak menunjukkan salah satu dari tiga ciri tersebut—mendorong kemungkaran, menghalangi kebaikan, atau kikir dalam beribadah dan berinfak—adalah cara terbaik untuk menjauhkan diri dari label yang disebutkan dalam ayat ini dan selalu berada di bawah naungan rahmat dan ingatan Allah SWT. Pemahaman ini menegaskan bahwa integritas batin (iman yang jujur) adalah penentu utama keselamatan, jauh melebihi penampilan lahiriah.