Pentingnya Kebersihan Aqidah: Surah Taubah Ayat 28

Ilustrasi simbol kesucian dan batasan

Surah At-Taubah (Surah ke-9) adalah salah satu bab penting dalam Al-Qur'an yang banyak membahas tentang perjanjian, peperangan, dan pentingnya menjaga kemurnian iman. Di tengah ayat-ayat yang berbicara tentang peperangan dan kondisi sosial saat itu, terdapat sebuah ayat yang memiliki signifikansi mendalam terkait batasan interaksi umat Islam dengan kelompok tertentu demi menjaga kesucian akidah. Ayat yang dimaksud adalah Surah Taubah ayat 28.

Teks dan Terjemahan Surah Taubah Ayat 28

Ayat ini memberikan perintah yang sangat tegas mengenai siapa yang boleh dan tidak boleh masuk ke dalam Masjidil Haram, khususnya setelah masa perjanjian tertentu berakhir. Berikut adalah bunyi ayat tersebut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا ۚ وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَاءَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena larangan itu), maka Allah nanti akan mengkayakan kamu dari karunia-Nya, jika Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Makna Inti: Menjaga Kemurnian Tempat Ibadah

Perintah dalam ayat 28 Surah Taubah ini berfokus pada dua aspek utama: status kemurnian (najis) yang dilekatkan kepada orang musyrik dalam konteks tempat ibadah suci, dan perlindungan fasilitas ibadah dari pengaruh yang dianggap mengotori kesuciannya.

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa kata "najis" di sini tidak selalu merujuk pada najis fisik yang menjalar seperti kotoran, melainkan najis maknawiyah, yaitu kekotoran akidah yang disebabkan oleh kesyirikan (menyekutukan Allah). Masjidil Haram adalah rumah ibadah yang dikhususkan untuk tauhid murni, tempat shalat dan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah SWT.

Larangan mendekati Masjidil Haram bagi mereka berlaku secara spesifik setelah tahun kesembilan Hijriah, menandai berakhirnya semua perjanjian yang mengizinkan kaum musyrik untuk beribadah dengan cara mereka di sekitar Ka'bah.

Kekhawatiran Kemiskinan dan Jaminan Rezeki

Salah satu poin penting yang diangkat ayat ini adalah kekhawatiran yang mungkin muncul di kalangan umat Islam saat itu, yaitu kekhawatiran akan kehilangan sumber mata pencaharian (kemiskinan) yang bergantung pada aktivitas ekonomi yang melibatkan kaum musyrik di sekitar Baitullah. Mekah adalah pusat perdagangan, dan larangan tersebut bisa berdampak signifikan pada perekonomian Madinah dan sekitarnya.

Namun, Allah memberikan penegasan luar biasa: "Dan jika kamu khawatir menjadi miskin... maka Allah nanti akan mengkayakan kamu dari karunia-Nya, jika Dia kehendaki."

Pesan ini adalah pelajaran abadi bahwa ketegasan dalam memegang prinsip agama—terutama prinsip tauhid—tidak akan pernah menyebabkan kerugian hakiki. Allah menjamin bahwa rezeki dan kemakmuran akan datang dari sumber yang tidak terduga, asalkan keimanan dan kemurnian ibadah dijaga di atas segalanya. Ini adalah janji bagi siapa pun yang memprioritaskan ketaatan kepada-Nya di atas keuntungan duniawi sesaat.

Relevansi Kontemporer

Meskipun ayat ini memiliki konteks historis yang spesifik terkait Mekah di masa Nabi Muhammad SAW, prinsip utamanya sangat relevan hingga kini. Konteksnya mengajarkan umat Islam untuk selalu waspada terhadap segala sesuatu yang dapat merusak kesucian iman dan ibadah mereka. Dalam kehidupan modern, "najis" akidah bisa muncul dalam bentuk ideologi sesat, pergaulan yang merusak, atau praktik ibadah yang bercampur dengan takhayul dan khurafat.

Menjaga kebersihan spiritual (akidah) adalah benteng utama seorang mukmin. Seperti halnya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membersihkan Ka'bah dari berhala, umat Islam diperintahkan untuk membersihkan hati dan lingkungan ibadah mereka dari segala bentuk kesyirikan. Kepatuhan terhadap perintah ini menunjukkan bahwa keimanan adalah prioritas tertinggi, melebihi ketakutan akan kekurangan materi. Allah Maha Mengetahui setiap niat tulus dan Maha Bijaksana dalam memberikan konsekuensi dan kemudahan bagi hamba-Nya yang taat.

Surah Taubah ayat 28 menegaskan bahwa ketaatan pada syariat Allah—terutama dalam menjaga kesucian ibadah dan akidah—adalah landasan kemuliaan sejati, sementara rezeki dan keamanan duniawi adalah hak prerogatif Allah yang pasti akan diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.