Surah At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara'ah, adalah surat Madaniyah yang turun setelah penaklukan Makkah. Ayat-ayatnya banyak membahas tentang perjanjian, jihad, dan pemurnian akidah umat Islam. Salah satu ayat yang menonjol dalam surat ini adalah **Surah At-Taubah Ayat 18**, yang memberikan pujian agung kepada mereka yang benar-benar menghidupkan fungsi masjid Allah. Ayat ini bukan sekadar pujian, tetapi penegasan prinsip dasar dalam Islam mengenai siapa yang berhak memakmurkan rumah-rumah ibadah.
Ayat ini menetapkan standar tinggi bagi para penjaga dan pengurus masjid, menekankan bahwa kriteria utama bukanlah jabatan atau popularitas, melainkan keimanan yang kokoh dan kesiapan untuk tunduk sepenuhnya kepada Allah SWT.
Ayat ke-18 dari Surah At-Taubah ini memberikan lima syarat mutlak bagi siapa saja yang layak disebut sebagai pemakmur (pembangun, pengurus, dan menghidupkan) masjid Allah. Kelima syarat ini membentuk sebuah kesatuan tak terpisahkan yang mendefinisikan integritas seorang mukmin.
Fondasi utamanya adalah keimanan yang kokoh. Iman yang dimaksud bukan hanya pengakuan lisan, melainkan keyakinan mendalam terhadap keesaan Allah (tauhid) dan realitas Hari Pembalasan. Tanpa iman yang benar, segala amal ibadah, termasuk memakmurkan masjid, akan sia-sia di sisi Allah. Kepercayaan pada Hari Akhir mendorong seseorang untuk beramal sebaik mungkin, karena ia sadar bahwa setiap tindakannya akan dipertanggungjawabkan.
Syarat kedua adalah konsistensi dalam melaksanakan salat tepat pada waktunya dengan khusyuk. Masjid adalah pusat tegaknya salat berjamaah. Jika seseorang aktif memakmurkan masjid namun ia sendiri meninggalkan atau melalaikan salat, maka klaimnya untuk memakmurkan masjid tersebut menjadi dipertanyakan. Salat adalah tiang agama, dan tiang ini harus berdiri tegak pada diri pemakmur masjid.
Zakat adalah manifestasi nyata dari kepedulian sosial seorang muslim. Mengeluarkan zakat menunjukkan bahwa hati seseorang tidak terikat pada harta benda duniawi. Dalam konteks memakmurkan masjid, hal ini berarti mereka juga peduli pada kesejahteraan jamaah dan sarana fisik masjid, menggunakan harta yang telah disucikan untuk kemaslahatan umum.
Ini adalah puncak kemuliaan spiritual. Rasa takut yang sah hanya ditujukan kepada Zat Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Keberanian ini membebaskan seorang hamba dari rasa takut terhadap celaan manusia, ancaman penguasa zalim, atau godaan materi. Seseorang yang tidak takut kepada selain Allah akan berani menegakkan kebenaran di dalam dan sekitar masjid tanpa pamrih.
Ilustrasi sederhana visualisasi masjid yang didirikan atas dasar iman.
Ayat ini memberikan pelajaran fundamental bahwa menghidupkan masjid bukan sekadar membangun fisik bangunan megah. Kemakmuran sejati datang dari kemakmuran spiritual jamaahnya. Sebuah masjid yang penuh dengan orang-orang yang taat, yang mendirikan salat berjamaah dengan khusyuk, yang saling peduli melalui zakat, dan yang teguh dalam tauhidnya, itulah masjid yang "dimakmurkan" dalam arti sebenarnya di mata Allah SWT.
Penggunaan kata 'innamā' (hanyalah) pada permulaan ayat menunjukkan eksklusivitas. Ini menegaskan bahwa hanya mereka yang memenuhi kriteria tersebut yang dapat mengklaim diri sebagai pemakmur masjid yang sesungguhnya, dan hanya mereka yang dijanjikan oleh Allah akan termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (al-muhtadīn). Petunjuk ini adalah hadiah tertinggi yang mengantar pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, setiap muslim yang peduli terhadap masjid hendaknya mengintrospeksi diri. Apakah aktivitas kita di masjid sejalan dengan kriteria yang ditetapkan oleh ayat ini? Memakmurkan masjid adalah panggilan bagi setiap mukmin untuk membenahi kualitas iman, ibadah ritual (salat), ibadah sosial (zakat), dan memurnikan hati dari rasa takut selain kepada Allah.