مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
"Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan (dosa) bagi orang-orang musyrik, walaupun (musyrik itu) adalah kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam." (QS. At-Taubah: 113)
Ayat ke-113 dari Surah At-Taubah merupakan penetapan hukum yang tegas dari Allah SWT mengenai hubungan seorang Muslim—termasuk Nabi Muhammad SAW—dengan mereka yang secara terbuka dan terus-menerus menolak kebenaran Islam dan memilih jalan kemusyrikan. Ayat ini memberikan landasan prinsipil tentang batas loyalitas dan simpati dalam ranah akidah.
Inti dari ayat ini adalah larangan keras untuk memohonkan ampunan (istighfar) bagi orang-orang musyrik, bahkan jika orang tersebut adalah kerabat dekat (ulu qurba). Larangan ini diperkuat dengan kondisi: setelah jelas bagi orang beriman bahwa orang musyrik tersebut adalah penghuni api neraka (ashab al-Jahim). Ini menunjukkan bahwa prioritas utama seorang mukmin adalah tauhid, dan dukungan atau permohonan ampunan harus dibedakan berdasarkan keimanan.
Penting untuk memahami bahwa ayat ini turun dalam konteks spesifik ketika kejelasan mengenai status keimanan seseorang sudah mutlak. Ketika seseorang telah memilih jalan yang secara eksplisit menentang Allah dan rasul-Nya, maka ikatan kekerabatan duniawi tidak boleh mengalahkan kewajiban akidah. Ini bukan berarti umat Islam harus memutuskan hubungan kasih sayang secara total, tetapi batasan dalam doa penghapusan dosa harus ditarik.
Dalam tafsir klasik, ayat ini seringkali diturunkan sebagai respons terhadap tindakan sebagian sahabat yang ingin memohonkan ampunan bagi kerabat mereka yang musyrik. Allah mengajarkan bahwa doa untuk ampunan hanya relevan bagi mereka yang masih memiliki potensi iman atau yang belum ditetapkan nasibnya secara pasti. Permohonan ampunan bagi orang yang sudah jelas berada di jalur kekafiran yang mengharuskan masuk neraka adalah sia-sia dan bertentangan dengan keadilan ilahi.
Meskipun perintahnya adalah larangan berdoa ampunan, ulama menjelaskan bahwa ayat ini tidak menghapus kewajiban untuk berbuat baik (birrul walidain) kepada orang tua atau kerabat yang musyrik selama mereka masih hidup, selama perbuatan baik tersebut tidak melanggar prinsip tauhid. Contohnya adalah menyediakan kebutuhan hidup, memberikan nasihat, dan menjaga kehormatan mereka di mata masyarakat. Namun, ketika menyangkut keselamatan akhirat—yaitu doa ampunan—maka garis pemisah harus ditarik tegas.
Ayat ini mengajarkan adanya ketegasan dalam pembelaan prinsip. Dalam kehidupan modern, prinsip ini dapat direfleksikan pada penolakan untuk mendukung, membenarkan, atau mendoakan kebaikan abadi bagi ideologi atau tindakan yang secara jelas bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Ini mendorong umat Islam untuk memiliki filter iman yang kuat dalam memilih lingkaran pergaulan dan dalam setiap doa yang dipanjatkan.
Surah At-Taubah secara keseluruhan banyak membahas tentang pemurnian barisan umat Islam pasca-Hijrah dan penegasan batas antara kawan dan lawan dalam konteks peperangan ideologi dan fisik. Ayat 113 menegaskan bahwa pemurnian ini harus mencapai level spiritual yang terdalam, yakni doa dan harapan untuk keselamatan akhirat. Ini memastikan bahwa loyalitas tertinggi seorang mukmin hanya tertuju kepada Allah SWT, tanpa kompromi dalam urusan akidah, bahkan demi ikatan darah sekalipun.