Surah At-Taubah (Surah ke-9) adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang dimulai tanpa lafal Basmalah ("Bismillāhirraḥmānirrahīm"). Ayat ketiga dari surah ini, yang menjadi fokus pembahasan kita, adalah sebuah deklarasi penting yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat ini turun sebagai tindak lanjut dari penaklukan Mekkah dan situasi politik serta perjanjian yang terjadi antara kaum Muslimin dengan kaum musyrikin Quraisy pada masa itu.
Secara historis, setelah kaum Muslimin berhasil menguasai Mekkah, masih terdapat beberapa suku dan kelompok musyrikin yang memiliki perjanjian damai atau gencatan senjata dengan umat Islam. Namun, seiring dengan menguatnya posisi Islam dan adanya indikasi pengkhianatan atau pelanggaran perjanjian oleh pihak musyrikin, Allah SWT memerintahkan untuk mengumumkan pemutusan perjanjian tersebut secara jelas dan tegas. Ayat 3 Surah At-Taubah menegaskan bahwa pemutusan ini berasal langsung dari Allah dan Rasul-Nya.
Ayat ini diawali dengan kalimat yang sangat kuat: "Barā'atun minallāhi wa rasūlih...", yang berarti "Pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya." Ini menunjukkan otoritas ilahiah di balik keputusan ini. Ini bukan sekadar kebijakan politik manusia, melainkan ketetapan ilahi mengenai hubungan antara kebenaran (Islam) dan kebatilan (kemusyrikan).
Target dari pernyataan ini adalah orang-orang musyrikin tertentu—yaitu mereka yang telah mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin, namun kemudian melanggarnya, atau bahkan membantu musuh Islam (yaitu "tidak membantu mereka [kaum musyrikin lain] untuk menzalimi kamu sedikit pun"). Ayat ini memberikan keringanan dan batasan yang jelas mengenai siapa yang perjanjiannya harus dilanjutkan dan siapa yang harus diakhiri.
Ayat ini menekankan prinsip keadilan dan ketegasan dalam berinteraksi. Jika sebuah pihak telah melanggar janji atau menunjukkan permusuhan terselubung, maka ikatan perjanjian tersebut gugur. Islam menjunjung tinggi janji, tetapi juga menuntut agar janji tersebut ditepati oleh kedua belah pihak. Bagi mereka yang masih menepati janji, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk menepati perjanjian tersebut hingga batas waktu yang telah disepakati, sebagaimana ditegaskan dalam kelanjutan ayat tersebut: "Maka penuhilah janji perjanjian itu sampai batas waktunya."
Surah At-Taubah ayat 3 memberikan pelajaran penting tentang etika politik dan hubungan internasional dalam pandangan Islam. Prinsip utamanya adalah kejujuran dan pemenuhan janji (al-'ahd). Perjanjian damai harus dihormati selama pihak lain juga menghormatinya. Namun, jika perjanjian dilanggar, Allah memberikan izin untuk mengakhiri hubungan tersebut demi menjaga keamanan dan eksistensi umat.
Ayat ini juga menggarisbawahi bahwa kedaulatan pengambilan keputusan tertinggi ada di tangan Allah dan Rasul-Nya, yang kemudian diimplementasikan melalui hukum syariat. Ketika suatu perjanjian tidak lagi memenuhi prinsip keadilan atau keamanan umat, maka batasan-batasan tersebut harus ditegakkan. Ini menegaskan bahwa dalam Islam, hubungan antarmanusia—bahkan dengan non-Muslim—harus didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan kebenaran yang bersumber dari wahyu.
Secara ringkas, ayat ke-9 ayat ke-3 ini berfungsi sebagai landasan teologis dan hukum untuk mengakhiri hubungan diplomatik atau perjanjian yang telah terjalin, ketika salah satu pihak terbukti melakukan pengkhianatan atau permusuhan aktif, sambil tetap memberikan toleransi kepada pihak yang masih memegang teguh komitmen perjanjian mereka. Ini adalah ayat yang berbicara tentang integritas, kepemimpinan ilahi, dan penegakan keadilan dalam konteks hubungan antar kelompok yang kompleks pada masa awal penyebaran Islam.