Tafsir dan Makna Surah At-Taubah Ayat 7

A Q

Representasi visual teks suci.

Pembahasan mengenai Surah At-Taubah (Surah ke-9) dalam Al-Qur'an selalu menarik perhatian karena kedudukannya yang unik, dimulai tanpa kalimat Bismillahirrahmannirrahim, dan isinya yang banyak berkaitan dengan perjanjian dan kondisi umat Islam pada masa-masa akhir kenabian. Salah satu ayat yang sangat penting dalam surat ini adalah **ayat ketujuh**, yang membahas tentang bagaimana Allah SWT memperlakukan orang-orang yang melanggar perjanjian.

كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
"Bagaimana mungkin orang-orang musyrik mempunyai perjanjian di sisi Allah dan di sisi Rasul-Nya? Kecuali orang-orang yang kamu adakan perjanjian dengan mereka di dekat Masjidilharam. Maka selama mereka berlaku lurus kepadamu, berlaku jugalah lurus kamu kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa."

Konteks Historis dan Pemahaman Ayat

Ayat 7 dari Surah At-Taubah ini turun dalam konteks pencabutan semua perjanjian damai yang telah dibuat antara kaum Muslimin di Madinah dengan suku-suku Quraisy dan sekutunya di Makkah. Sebelumnya, telah ada beberapa perjanjian, yang paling terkenal adalah Perjanjian Hudaibiyah. Namun, setelah penaklukan Makkah, kondisi politik dan militer telah berubah drastis. Mayoritas suku-suku tersebut telah melanggar perjanjian tersebut atau menunjukkan permusuhan terbuka.

Pertanyaan retoris di awal ayat, "Bagaimana mungkin orang-orang musyrik mempunyai perjanjian di sisi Allah dan di sisi Rasul-Nya?", menunjukkan penegasan bahwa ikatan suci (perjanjian) seharusnya dipegang teguh oleh kedua belah pihak. Bagi kaum musyrik yang secara aktif memerangi Islam, sangat tidak masuk akal jika perjanjian itu masih dipertahankan seperti biasa.

Pengecualian yang Tegas

Namun, Islam selalu mengajarkan keadilan, bahkan kepada musuh. Ayat ini memberikan pengecualian penting: **"Kecuali orang-orang yang kamu adakan perjanjian dengan mereka di dekat Masjidilharam."** Ini merujuk pada kelompok tertentu yang masih memegang teguh kesepakatan damai mereka, khususnya yang terjadi saat Rasulullah berada di sekitar Ka'bah atau di tempat suci lainnya.

Prinsip yang ditekankan di sini adalah timbal balik dan proporsionalitas: **"Maka selama mereka berlaku lurus kepadamu, berlaku jugalah lurus kamu kepada mereka."** Ini adalah pilar utama dalam hubungan internasional atau antar kelompok dalam Islam. Jika pihak lain menepati janji, maka kaum Muslimin wajib menepatinya. Ini menunjukkan bahwa pencabutan perjanjian bukan didasarkan pada prasangka atau permusuhan umum, melainkan respons terhadap pelanggaran yang telah dilakukan oleh pihak musyrik.

Pelajaran tentang Ketakwaan

Ayat ini ditutup dengan penegasan sifat Allah SWT: **"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa."** Kata 'Muttqin' (orang yang bertakwa) di sini memiliki makna mendalam. Dalam konteks ini, ketakwaan diwujudkan melalui dua hal utama:

  1. Keteguhan prinsip dalam memegang janji (ketika pihak lain jujur).
  2. Keberanian untuk mengambil sikap tegas (mencabut janji) ketika prinsip ilahiah dilanggar oleh pihak lain.

Ketakwaan bukan hanya berarti melaksanakan ibadah ritual, tetapi juga mencakup integritas dalam urusan duniawi, termasuk dalam etika peperangan dan perjanjian. Keadilan harus selalu ditegakkan, dan kepatuhan terhadap perjanjian adalah bentuk ketakwaan yang diakui oleh Allah.

Relevansi Abadi

Surah At-Taubah ayat 7 memberikan landasan etika politik dan hubungan antarnegara yang sangat relevan hingga saat ini. Ayat ini mengajarkan bahwa kepatuhan pada kesepakatan adalah sebuah kebajikan ilahi. Namun, kebajikan ini tidak boleh dimanfaatkan untuk kelemahan. Jika suatu perjanjian yang fundamental dilanggar oleh pihak lain, kehormatan dan keamanan komunitas harus menjadi prioritas, yang kemudian diatur oleh prinsip keadilan dan ketakwaan. Ayat ini adalah pedoman bagi umat untuk selalu bertindak dengan pertimbangan matang, bukan berdasarkan emosi, melainkan berdasarkan hukum ilahi yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan bagi semua pihak yang bersikap jujur.

Memahami konteks Surah At-Taubah secara keseluruhan membantu kita menempatkan ayat ini dalam bingkai syariat yang komprehensif, yaitu penegasan kedaulatan Islam setelah perjuangan panjang, sambil tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip moralitas tertinggi.