Al-Qur'an adalah pedoman hidup yang terbagi dalam 114 surah. Salah satu surah yang sarat dengan pelajaran historis dan prinsip hidup adalah Surah At-Taubah (Surah ke-9), yang juga dikenal sebagai Surah Bara'ah. Ayat ke-8 dari surah ini memberikan peringatan keras mengenai konsekuensi dari pengkhianatan dan ketidakjujuran dalam konteks perjanjian.
"Bagaimana (mungkin ada perjanjian), padahal jika mereka menangkap kamu, mereka tidak memelihara seorang pun yang terikat dengan perjanjian dengan kamu, dan tidak (pula) mengindahkan suatu jaminan. Mereka menyenangkan hati kamu dengan mulut mereka, padahal hati mereka menolak; dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik (durhaka)." (QS. At-Taubah: 8)
Ayat ini adalah bagian penting dari rangkaian ayat yang menjelaskan tentang kaum musyrikin tertentu yang telah melanggar perjanjian damai dengan kaum Muslimin di Madinah. Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin untuk memutuskan hubungan dan tidak lagi mengandalkan janji-janji dari pihak yang terbukti tidak memiliki integritas.
Pesan utama dari Surah At-Taubah ayat 8 adalah pentingnya ketegasan dalam menghadapi pengkhianatan dan ketidakjujuran. Ayat ini menjelaskan karakteristik kaum yang tidak dapat dipercaya: mereka tidak menghormati ikatan perjanjian, tidak menjaga kehormatan orang lain, dan menggunakan kata-kata manis hanya untuk menyenangkan tanpa kesungguhan hati.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah "tidak memelihara seorang pun yang terikat dengan perjanjian dengan kamu, dan tidak pula mengindahkan suatu jaminan." Ini menegaskan bahwa jika suatu pihak telah menunjukkan perilaku yang melanggar setiap norma kesepakatan, maka ikatan apapun yang tersisa menjadi batal demi hukum syariat karena pihak lain telah menunjukkan watak asli mereka yang fasik.
"Mereka menyenangkan hati kamu dengan mulut mereka, padahal hati mereka menolak" adalah deskripsi klasik dari kemunafikan. Dalam konteks modern, ayat ini mengajarkan kita untuk tidak mudah tertipu oleh retorika atau janji-janji kosong. Penilaian terhadap ketulusan harus didasarkan pada tindakan nyata dan konsistensi antara perkataan dan perbuatan, bukan sekadar basa-basi verbal.
Ayat ini menjadi fondasi bagi prinsip kehati-hatian dalam diplomasi dan interaksi sosial antar kelompok atau individu. Bagi komunitas Muslim saat itu, perintah ini adalah langkah defensif dan korektif untuk menjaga keamanan dan kedaulatan dari ancaman internal yang bermuka dua. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan kelemahan atau kepasrahan total ketika menghadapi permusuhan terselubung.
Ketika integritas dan amanah telah hilang dari suatu hubungan, maka pertimbangan kemaslahatan umum (umat) harus didahulukan daripada menjaga formalitas hubungan yang sudah rusak. Ayat ini menyoroti bahwa kategori "fasik"—yaitu orang yang keluar dari ketaatan dan melanggar batas—adalah label yang diberikan berdasarkan pembuktian pelanggaran janji dan kurangnya rasa hormat terhadap norma moral.
Sebagai kesimpulan, Surah At-Taubah ayat 8 adalah pengingat abadi bahwa kejujuran adalah mata uang utama dalam hubungan antarmanusia. Ketika mata uang itu dicabut oleh satu pihak melalui pengkhianatan yang nyata, maka pihak lain dibenarkan untuk bersikap tegas dan mengakhiri kemitraan tersebut demi melindungi diri dari bahaya lebih lanjut. Ayat ini mengajarkan bahwa hati yang menolak kebenaran akan selalu menemukan cara untuk berkhianat, terlepas dari manisnya kata-kata yang diucapkan di bibir.
Referensi Utama: Tafsir Surah At-Taubah.