Ketergantungan dunia pada bahan bakar minyak bumi (BBM) telah lama menjadi isu krusial, baik dari sisi lingkungan maupun kestabilan geopolitik. Tekanan untuk mencari sumber energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan mendorong para penemu dan peneliti untuk mengeksplorasi berbagai alternatif. Salah satu klaim yang paling menarik perhatian publik selama beberapa dekade terakhir adalah penggunaan air sebagai bahan bakar, atau yang sering disebut sebagai 'bahan bakar air pengganti BBM'.
Konsep ini biasanya berpusat pada ide untuk memecah molekul air (H₂O) menjadi hidrogen (H₂) dan oksigen (O₂) melalui proses elektrolisis, kemudian menggunakan hidrogen yang dihasilkan sebagai sumber tenaga pembakaran di mesin konvensional. Jika berhasil dilakukan secara efisien, ini menjanjikan energi yang sangat bersih, karena produk sampingannya hanyalah air kembali. Namun, realitas ilmiah dan tantangan termodinamika menjadi penghalang utama dalam mewujudkan visi ini secara praktis dan ekonomis.
Ilustrasi Konsep Elektrolisis Air
Masalah mendasar yang dihadapi oleh semua perangkat yang mengklaim menggunakan air murni sebagai bahan bakar utama adalah Hukum Pertama Termodinamika. Hukum ini menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan; ia hanya dapat diubah bentuknya. Untuk memisahkan hidrogen dari oksigen dalam air, diperlukan input energi yang setara atau bahkan lebih besar daripada energi yang akan dilepaskan saat hidrogen tersebut dibakar kembali.
Dalam konteks mesin, efisiensi selalu kurang dari 100%. Energi yang dibutuhkan untuk menjalankan alternator/sistem elektrolisis pada kendaraan (mengambil daya dari mesin itu sendiri) hampir selalu lebih besar daripada energi yang dihasilkan oleh hidrogen yang diproduksi. Ini menciptakan siklus yang tidak berkelanjutan. Banyak penemuan yang diklaim sebagai 'air-fuel cell' atau 'penyuling bahan bakar air' sering kali terbukti memanfaatkan sumber energi lain yang tersembunyi, atau gagal dalam pengujian independen yang ketat.
Meskipun air bukan sumber energi yang dapat "diambil" tanpa input energi, ia adalah pembawa (carrier) hidrogen yang sangat melimpah. Inilah mengapa fokus riset energi modern beralih ke pengembangan Hidrogen Hijau.
Hidrogen Hijau diproduksi melalui elektrolisis air, namun energi listrik yang digunakan berasal dari sumber terbarukan seperti tenaga surya atau angin. Dalam skenario ini, air memang digunakan sebagai bahan baku utama, tetapi energi utamanya berasal dari matahari atau angin, bukan dari air itu sendiri. Kendaraan yang menggunakan sel bahan bakar hidrogen (Fuel Cell Electric Vehicles/FCEV) adalah contoh nyata bagaimana hidrogen dapat menggantikan BBM dengan emisi nol (hanya menghasilkan uap air).
Perbedaan utama antara klaim "bahan bakar air pengganti BBM" yang meragukan dan teknologi Hidrogen Hijau yang diakui adalah sumber energi yang mendorong pemisahan molekul. Teknologi yang valid membutuhkan infrastruktur energi terbarukan yang masif untuk membuatnya layak secara global.
Saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang kredibel bahwa air dapat berfungsi sebagai sumber energi mandiri yang dapat menggantikan BBM secara langsung dalam mesin pembakaran internal tanpa melanggar prinsip-prinsip fisika dasar. Klaim mengenai alat yang mengubah air menjadi bahan bakar utama tanpa input energi eksternal yang signifikan sebagian besar masuk dalam kategori mitos atau kesalahpahaman ilmiah.
Namun, potensi air sebagai reservoir hidrogen masa depan—didorong oleh energi terbarukan—tetap menjadi salah satu jalur paling menjanjikan untuk dekarbonisasi sektor transportasi dan industri. Masa depan energi bersih terletak pada efisiensi ekstraksi hidrogen dari air menggunakan energi terbarukan, bukan pada penemuan yang menentang hukum energi yang sudah mapan.