Surah At-Taubah, yang merupakan surah Madaniyyah, membahas banyak isu penting terkait kehidupan sosial, militer, dan ekonomi umat Islam setelah Hijrah, termasuk klarifikasi terhadap praktik-praktik jahiliyah yang masih bercampur dalam tradisi Arab. Ayat ke-37 dari surah ini secara spesifik menyoroti praktik keji yang dikenal sebagai An-Nasi' (pengunduran bulan).
Praktik ini dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam, khususnya ketika mereka ingin menghindari peperangan pada bulan-bulan yang mulia (bulan haram) seperti Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Jika mereka merasa perlu berperang di bulan haram, mereka akan menggeser waktu bulan haram tersebut ke bulan lain dengan cara mengumumkan bahwa bulan tertentu, yang seharusnya haram, kini menjadi bulan biasa, dan sebaliknya. Tujuannya adalah untuk memuaskan nafsu dan kepentingan mereka sendiri.
Ayat ini menegaskan bahwa praktik An-Nasi' ini bukanlah sekadar kesalahan administratif atau tradisi kecil, melainkan "penambahan kekafiran" (ziyadah fil kufr). Ini adalah penyesatan yang disengaja. Ketika seseorang secara aktif mengubah hukum yang sudah ditetapkan Allah—yaitu kekekalan larangan berperang di bulan-bulan suci—maka ia telah membuka pintu bagi kesesatan yang lebih besar.
Mengapa ini dianggap penambahan kekafiran? Karena hal tersebut menunjukkan penolakan implisit terhadap otoritas penetapan syariat Allah. Mereka merasa lebih berhak menentukan kapan hukum berlaku daripada Sang Pencipta syariat itu sendiri. Mereka menggunakan akal dan hawa nafsu mereka untuk memanipulasi batasan yang sudah tegas.
Poin kunci kedua dalam ayat ini adalah motif di baliknya: "untuk membuat bilangan yang Allah haramkan menjadi pas (sesuai keinginan mereka), sehingga mereka menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah." Ini adalah contoh nyata bagaimana manusia dapat menggunakan logika yang tampak rasional (agar bilangan bulan haram genap atau sesuai kebutuhan mereka) untuk melegitimasi pelanggaran terhadap perintah ilahi.
Dalam pandangan mereka, praktik ini tampak sebagai kecerdikan politik atau adaptasi budaya. Ayat tersebut menyebutkan, "Perbuatan buruk mereka itu dijadikan indah dalam pandangan mereka." Ini adalah bahaya terbesar dari maksiat yang berkelanjutan: setan akan menghiasi keburukan sehingga pelakunya merasa melakukan hal yang benar, bahkan beribadah dengan cara yang salah. Mereka melihat manipulasi kalender sebagai tindakan yang dihiasi, padahal itu adalah penggelapan hukum ilahi.
Meskipun konteks historisnya adalah pengunduran bulan, pelajaran yang dapat diambil relevan hingga kini. Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk berpegang teguh pada batasan-batasan syariat tanpa kompromi demi kenyamanan atau keuntungan sesaat. Setiap upaya untuk mendistorsi atau menafsirkan ulang syariat agar sesuai dengan tren atau keinginan populer—terutama jika itu melanggar kejelasan nas—berada dalam spektrum bahaya yang sama dengan An-Nasi'.
Kesimpulan tegas ayat ini adalah bahwa manipulasi hukum agama demi kepentingan duniawi adalah ciri khas orang-orang kafir dan fasik, dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka yang secara sadar memilih jalan penyesatan tersebut. Ketaatan harus total, tidak bersifat parsial atau kondisional.