Surah At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara'ah, adalah surah Madaniyah terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ayat 31 ini memiliki posisi penting karena menyoroti penyimpangan akidah yang pernah terjadi pada umat terdahulu, khususnya Yahudi dan Nasrani, yang kemudian dijadikan peringatan keras bagi umat Islam.
Konteks utama ayat ini adalah kritik tajam terhadap praktik tattakhudzu al-arbab min duni Allah (mengambil tuhan-tuhan selain Allah). Ayat ini diyakini turun sebagai respons terhadap tradisi di kalangan Ahli Kitab yang telah menyimpang dari tauhid murni. Mereka mulai meletakkan otoritas spiritual dan bahkan otoritas penetapan hukum setara dengan otoritas Allah kepada para pemuka agama mereka, yaitu para rabi (ulama Yahudi) dan rahib (pendeta Nasrani).
Penyimpangan ini tidak hanya sebatas penghormatan berlebihan, tetapi telah merambah pada praktik pengikutan buta terhadap hukum yang mereka tetapkan, bahkan ketika hukum tersebut bertentangan dengan wahyu Allah yang asli. Ini adalah bentuk syirik khafi (syirik tersembunyi) yang sangat dilarang dalam Islam.
Kata "menjadikan tuhan" (ittakhadzu) dalam ayat ini sangat kuat maknanya. Ini bukan sekadar menghormati, melainkan memberikan hak ilahi kepada manusia lain. Dalam riwayat sahih, ketika ayat ini dibacakan di hadapan Rasulullah SAW, sebagian sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah mereka tidak menyembah mereka seperti mereka menyembah Allah?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya, tetapi mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah, dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu umat mereka mengikuti."
Inilah inti permasalahannya: otoritas. Islam mengajarkan bahwa otoritas legislasi tertinggi hanya milik Allah (Al-Hakam). Ketika seorang ulama atau pendeta dijadikan "tuhan" kedua, itu berarti hukum yang mereka buat dianggap setara atau bahkan lebih tinggi daripada hukum syariat. Dalam konteks sejarah, hal ini sangat relevan dengan praktik penafsiran Taurat dan Injil yang kemudian dimanipulasi untuk keuntungan duniawi oleh para pemimpin agama saat itu.
Ayat ini mengajarkan bahwa tauhid bukan hanya pengakuan lisan bahwa 'La ilaha illallah,' tetapi juga penegasan bahwa ketaatan total dan penyerahan otoritas penetapan hukum harus dikembalikan hanya kepada Allah SWT.
Penyebutan khusus Al-Masih putera Maryam (Nabi Isa AS) menambah penekanan serius ayat ini. Nabi Isa AS adalah seorang utusan Allah yang membawa ajaran tauhid. Namun, karena kecintaan yang berlebihan (ghuluw) dari sebagian pengikutnya, kedudukan beliau terangkat hingga disembah.
Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa terlepas dari keagungan dan mukjizat yang dianugerahkan kepada Nabi Isa, beliau adalah seorang hamba Allah dan bukan Tuhan. Penegasan ini menjadi bantahan langsung terhadap konsep Trinitas atau ketuhanan Isa AS, sekaligus menjadi pelajaran universal bahwa bahkan seorang Nabi pun tidak boleh dilekatkan dengan sifat ilahi.
Ayat ini ditutup dengan kalimat yang sangat tegas dan lugas: "La ilaha illahu Huwa" (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia). Kalimat ini adalah jantung dari ajaran Islam, sebuah pernyataan pemurnian total dari segala bentuk persekutuan. Setelah memaparkan contoh-contoh penyimpangan akidah umat terdahulu, Allah SWT segera menegaskan kembali fondasi keimanan.
Penutup ini menggarisbawahi bahwa segala bentuk pemuliaan, penghormatan, dan ketaatan harus terpusat hanya kepada Zat yang Maha Esa. Menyembah selain-Nya, dalam bentuk apa pun—baik itu berupa idola fisik, hawa nafsu, pemimpin, atau pemuka agama yang otoritasnya dilebihkan—adalah bentuk syirik yang paling dicela oleh Allah SWT. Ayat 31 Surah At-Taubah adalah peringatan abadi agar umat Islam senantiasa menjaga kemurnian tauhid mereka dari segala bentuk penyelewengan keyakinan dan penempatan otoritas.