Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Bara’ah, adalah surat yang sarat akan pelajaran penting mengenai tauhid, loyalitas, dan konsekuensi dari kemunafikan. Khususnya pada ayat 107 hingga 111, Allah SWT memberikan peringatan keras sekaligus janji ampunan bagi mereka yang tulus dalam niatnya. Ayat-ayat ini sering kali dibahas dalam konteks pembangunan atau renovasi masjid yang didasari oleh niat yang buruk, namun secara universal, ini adalah pelajaran tentang fondasi amal ibadah kita.
"Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang membangun masjid untuk menimbulkan bahaya (kemudaratan), untuk kekafiran, untuk memecah belah antara orang-orang yang beriman, dan untuk dijadikan tempat menunggu (mengintai) orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Dan mereka sungguh akan bersumpah, 'Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan.' Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta."
Ayat 107 menyoroti bahaya membangun atas dasar niat yang rusak. Masjid yang seharusnya menjadi pusat ketenangan dan pengabdian justru dijadikan alat perpecahan dan konspirasi melawan kebenaran. Para pembangun masjid ini bersumpah bahwa niat mereka baik—hanya "kebaikan"—namun Allah Yang Maha Mengetahui bersaksi bahwa sumpah itu palsu. Pelajaran mendasar di sini adalah bahwa sarana ibadah (seperti masjid) tidaklah suci jika fondasinya dibangun di atas niat yang kotor, seperti permusuhan, pengkhianatan, dan memecah belah umat.
"Janganlah engkau (Muhammad) bersembahyang di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (takut kepada Allah) sejak hari pertama adalah lebih patut engkau salat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah mencintai orang-orang yang mensucikan diri."
Sebagai respons terhadap niat buruk tersebut, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk tidak pernah lagi menggunakan masjid Dhrar tersebut. Kontrasnya sangat tajam: di satu sisi ada masjid yang didirikan atas dasar kemunafikan, dan di sisi lain adalah masjid yang didirikan atas dasar Taqwa (takwa) sejak hari pertama—merujuk pada Masjid Quba atau Masjid Nabawi sendiri. Masjid sejati adalah tempat di mana orang-orang cinta membersihkan diri (baik secara fisik maupun spiritual), dan Allah mencintai kesucian itu. Ayat ini menegaskan bahwa keutamaan sebuah tempat ibadah terletak pada kesucian niat para pembuat dan penggunanya.
Setelah membahas tentang masjid yang destruktif, ayat selanjutnya (109-111) menggeser fokus pada fondasi amal seseorang di hadapan Allah.
"Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang lebih baik, ataukah orang yang mendirikan bangunannya di atas tepi jurang yang akan runtuh, lalu bangunan itu roboh bersama-sama dengan orang itu ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
Ini adalah perbandingan retoris yang kuat. Membangun di atas takwa dan keridhaan-Nya (fondasi kuat) dibandingkan dengan membangun di atas tepi jurang yang siap runtuh (fondasi munafik). Amalan yang didasari kemunafikan, betapapun megahnya kelihatannya di dunia, akan berakhir dengan kehancuran total bersama pelakunya di neraka.
"Bangunan yang mereka dirikan itu akan senantiasa menjadi sumber keraguan dalam hati mereka, kecuali jika hati mereka itu hancur berkeping-keping. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Ayat 110 menjelaskan bahwa keraguan dan kegelisahan akan selalu menyertai orang yang mendirikan amalnya di atas kemunafikan. Mereka mungkin terlihat tenang di luar, tetapi di dalam hati mereka ada penyakit yang terus menggerogoti, kecuali jika hati mereka benar-benar hancur oleh penyesalan (atau dicabut nyawanya).
"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa mereka dan harta benda mereka dengan surga sebagai gantinya; mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah dijanjikan) Allah sebagai suatu janji yang benar di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar."
Ayat penutup ini (111) adalah puncak dari janji ilahi, memberikan kontras tertinggi terhadap kehancuran ayat 107-110. Allah menegaskan bahwa Dia telah mengadakan "jual beli" yang paling menguntungkan dengan orang-orang beriman: mereka menyerahkan nyawa dan harta mereka untuk berjuang di jalan-Nya, dan sebagai imbalannya, Allah menjanjikan Surga. Janji ini bukan klaim baru, melainkan telah ditegaskan dalam kitab-kitab suci sebelumnya (Taurat, Injil, dan Al-Qur'an). Intinya adalah: Tidak ada yang lebih menepati janji selain Allah. Oleh karena itu, mukminin harus bergembira atas transaksi agung ini.
Kisah At-Taubah 107-111 adalah pengingat abadi bahwa integritas spiritual harus tercermin dalam setiap tindakan, termasuk dalam pembangunan sarana ibadah. Amal yang tulus, meskipun mungkin terlihat kecil dan sederhana (seperti Masjid Quba yang didirikan dengan takwa), jauh lebih berharga daripada bangunan besar yang didasari oleh maksud tersembunyi dan perpecahan. Keberhasilan sejati, yang dijanjikan Allah, adalah kesucian niat dan kesediaan total untuk mengorbankan diri demi ridha-Nya.